Sikap
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 31 Jul 2008, halaman 10.
Pernyataan anggota DPR Hamka Yandhu ketika bersaksi dalam sidang kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin lalu (28/7), sungguh mencengangkan. Dalam kesaksian itu, ia mengungkapkan bahwa semua anggota Komisi IX Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 menerima dana YPPI itu.
Dalam penyuapan secara massal itu, menurut Hamka, anggota Komisi Keuangan menerima uang dari dana YPPI rata-rata Rp250 juta-Rp300 juta per orang. Ada beberapa orang yang menerima Rp500 juta, bahkan Rp1 miliar. Di antara anggota Komisi Keuangan DPR 1999-2004 itu, sekarang ada yang menjadi pejabat negara. Mereka antara lain Paskah Suzzeta yang kini menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan MS Kaban yang kini menjadi Menteri Kehutanan. Sementara Baharudin Aritonang dan Abdullah Zaini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Kasus korupsi dana Bank Indonesia yang berasal dari YPPI ini merugikan negara sebesar Rp100 miliar. Dana tersebut diberikan ke panitia perbankan Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang BI. Sisanya Rp68,5 miliar untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan Deputi Gubernur Senior BI dalam kasus BLBI.
Sejauh ini, tiga mantan petinggi Bank Sentral telah dijadikan terdakwa, yakni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Komunikasi Rusli Simanjuntak. Dua mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang banyak berperan dalam pembagian dana BI telah dijadikan tersangka, yakni Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin.
Bukti-bukti dan para saksi yang diperiksa selama penyidikan hingga persidangan mengungkapkan sejumlah fakta yang mesti ditindaklanjuti. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti mencermati bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian itu untuk membongkar kasus aliran dana BI sebesar Rp100 miliar ini secara tuntas tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.
Para mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang telah menerima dana YPPI harus diperiksa semua. Sikap tak pandang bulu dan tak mau kompromi harus dipegang kuat karena kasus ini melibatkan para pejabat tinggi yang masih berkuasa, yakni dua menteri dan dua anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, para penerima dana YPPI tersebut adalah tokoh politik yang memiliki kekuatan untuk melawan tindakan hukum terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka masih aktif sebagai anggota DPR, pejabat eksekutif, atau pemimpin partai politik.
KPK juga mesti menindaklanjuti bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian lain yang terungkap dalam sidang sebelumnya. Kesaksian para mantan pejabat BI yang menerima dana bantuan hukum mengungkapkan uang itu mereka gunakan untuk keperluan lain.
Mantan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata mengaku menggunakan dana bantuan hukum Rp13,5 miliar dari YPPI untuk membeli rumah. Sisanya, disimpan dalam deposito atas nama anaknya. Mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono mengaku menerima dana YPPI Rp25 miliar, sedang mantan Direktur BI Hendro Budianto mengaku menerima Rp10 miliar, untuk sosialisasi dan diseminasi. Namun, kemudian mereka mengatakan uang itu sebagai utang dan akan dikembalikan.
Pernyataan-pernyataan yang janggal itu mesti diperiksa, dan ini merupakan kesempatan bagi KPK.
Dalam penyuapan secara massal itu, menurut Hamka, anggota Komisi Keuangan menerima uang dari dana YPPI rata-rata Rp250 juta-Rp300 juta per orang. Ada beberapa orang yang menerima Rp500 juta, bahkan Rp1 miliar. Di antara anggota Komisi Keuangan DPR 1999-2004 itu, sekarang ada yang menjadi pejabat negara. Mereka antara lain Paskah Suzzeta yang kini menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan MS Kaban yang kini menjadi Menteri Kehutanan. Sementara Baharudin Aritonang dan Abdullah Zaini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Kasus korupsi dana Bank Indonesia yang berasal dari YPPI ini merugikan negara sebesar Rp100 miliar. Dana tersebut diberikan ke panitia perbankan Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang BI. Sisanya Rp68,5 miliar untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan Deputi Gubernur Senior BI dalam kasus BLBI.
Sejauh ini, tiga mantan petinggi Bank Sentral telah dijadikan terdakwa, yakni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Komunikasi Rusli Simanjuntak. Dua mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang banyak berperan dalam pembagian dana BI telah dijadikan tersangka, yakni Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin.
Bukti-bukti dan para saksi yang diperiksa selama penyidikan hingga persidangan mengungkapkan sejumlah fakta yang mesti ditindaklanjuti. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti mencermati bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian itu untuk membongkar kasus aliran dana BI sebesar Rp100 miliar ini secara tuntas tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.
Para mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang telah menerima dana YPPI harus diperiksa semua. Sikap tak pandang bulu dan tak mau kompromi harus dipegang kuat karena kasus ini melibatkan para pejabat tinggi yang masih berkuasa, yakni dua menteri dan dua anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, para penerima dana YPPI tersebut adalah tokoh politik yang memiliki kekuatan untuk melawan tindakan hukum terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka masih aktif sebagai anggota DPR, pejabat eksekutif, atau pemimpin partai politik.
KPK juga mesti menindaklanjuti bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian lain yang terungkap dalam sidang sebelumnya. Kesaksian para mantan pejabat BI yang menerima dana bantuan hukum mengungkapkan uang itu mereka gunakan untuk keperluan lain.
Mantan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata mengaku menggunakan dana bantuan hukum Rp13,5 miliar dari YPPI untuk membeli rumah. Sisanya, disimpan dalam deposito atas nama anaknya. Mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono mengaku menerima dana YPPI Rp25 miliar, sedang mantan Direktur BI Hendro Budianto mengaku menerima Rp10 miliar, untuk sosialisasi dan diseminasi. Namun, kemudian mereka mengatakan uang itu sebagai utang dan akan dikembalikan.
Pernyataan-pernyataan yang janggal itu mesti diperiksa, dan ini merupakan kesempatan bagi KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar