Oleh Umbu TW Pariangu
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.
Bak layang-layang, negeri ini gagal menjangkau tingginya langit biru. Telanjur diremas patologi korupsi yang menjauhkannya dari visi mulia (reformasi). Kehancuran negara akibat KKN pada stadium mengerikan (Bdk Rosse-Ackerman, 1999).
Sejak upaya eliminasi korupsi dari istana, diharapkan ada komitmen dan konsistensi. Ternyata, komitmen pemerintah dilanda sindrom anualitas. Upaya meringkus koruptor surut di bawah rapuhnya hukum. Kasus DKP, BLBI, dan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK yang menerima 660.000 dollar AS dari Artalyta, hingga maraknya suap di DPR, telah menyayat nurani bangsa.
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.
Bak layang-layang, negeri ini gagal menjangkau tingginya langit biru. Telanjur diremas patologi korupsi yang menjauhkannya dari visi mulia (reformasi). Kehancuran negara akibat KKN pada stadium mengerikan (Bdk Rosse-Ackerman, 1999).
Sejak upaya eliminasi korupsi dari istana, diharapkan ada komitmen dan konsistensi. Ternyata, komitmen pemerintah dilanda sindrom anualitas. Upaya meringkus koruptor surut di bawah rapuhnya hukum. Kasus DKP, BLBI, dan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK yang menerima 660.000 dollar AS dari Artalyta, hingga maraknya suap di DPR, telah menyayat nurani bangsa.
Korupsi, ”agama” baru
Ada beberapa pelajaran dari peristiwa itu. Ternyata negara tidak sesempurna imagine community-nya Ben Anderson dalam mengafirmasi kekuatan tak terjamah yang menyatukan bangsa. Sebaliknya, elite leluasa berkelit, menggunting soliditas bangsa dalam dua antaseden.
Pertama, kentalnya ketamakan dan hedonisme, lekat dengan ketidakpuasan destruktif yang merobek keadilan dan pemerataan.
Kedua, antipati ekstrem terhadap moral selaku pegangan konstruksi politik-hukum. Nyaris tiada institusi ”moral” kebal korupsi. Maka, korupsi menjadi ”agama” baru yang menghimpun seluruh kelaknatan sistem, individu untuk merampok aset, modal negara dan mempreteli ideologi bangsa. Semua dianuti demi keselamatan sendiri.
”Agama” korupsi mengonotasikan sesuatu yang diferen dan terbalik dan negara gagal mengoperasikan kebajikan umum. Ketika Komisi Antikorupsi (KPK) dibentuk tahun 1970, Mohammad Hatta (dikutip dari Smith 1971 : 21) menyitir: perilaku korupsi semacam ”seni hidup”, bahkan ”budaya” baru. Dalam perspektif perubahan perilaku- nya Schwitzgebel and Kolb (1974), korupsi yang memasif didorong interaksi sosial warga.
Kode ”etik” lembaga kita lebih mengakomodasi orang kaya— tetapi kotor—dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Realitasnya, hukum selalu mengalibikan kekuatan negara sebagai pembentuk common good. Selaku panglima pembangunan, hukum dipahami dalam logika piramida terbalik. Bahwa orang—berkepentingan besar—selalu dalam strata teratas, mudah membeli hukum sedangkan kaum grass root diciprati pesimistis.
Ada beberapa pelajaran dari peristiwa itu. Ternyata negara tidak sesempurna imagine community-nya Ben Anderson dalam mengafirmasi kekuatan tak terjamah yang menyatukan bangsa. Sebaliknya, elite leluasa berkelit, menggunting soliditas bangsa dalam dua antaseden.
Pertama, kentalnya ketamakan dan hedonisme, lekat dengan ketidakpuasan destruktif yang merobek keadilan dan pemerataan.
Kedua, antipati ekstrem terhadap moral selaku pegangan konstruksi politik-hukum. Nyaris tiada institusi ”moral” kebal korupsi. Maka, korupsi menjadi ”agama” baru yang menghimpun seluruh kelaknatan sistem, individu untuk merampok aset, modal negara dan mempreteli ideologi bangsa. Semua dianuti demi keselamatan sendiri.
”Agama” korupsi mengonotasikan sesuatu yang diferen dan terbalik dan negara gagal mengoperasikan kebajikan umum. Ketika Komisi Antikorupsi (KPK) dibentuk tahun 1970, Mohammad Hatta (dikutip dari Smith 1971 : 21) menyitir: perilaku korupsi semacam ”seni hidup”, bahkan ”budaya” baru. Dalam perspektif perubahan perilaku- nya Schwitzgebel and Kolb (1974), korupsi yang memasif didorong interaksi sosial warga.
Kode ”etik” lembaga kita lebih mengakomodasi orang kaya— tetapi kotor—dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Realitasnya, hukum selalu mengalibikan kekuatan negara sebagai pembentuk common good. Selaku panglima pembangunan, hukum dipahami dalam logika piramida terbalik. Bahwa orang—berkepentingan besar—selalu dalam strata teratas, mudah membeli hukum sedangkan kaum grass root diciprati pesimistis.
Pengorbanan
Setelah 10 tahun upaya pemberantasan korupsi, mendung masih bergayut. Kita tak punya reminisensi yang menguatkan faktum, post nubila jubila (setelah mendung ada terang). Berantas korupsi tak cuma proforma ”dari istana”. Politik bukan hanya soal wacana, tetapi juga impetus pengorbanan dan kerja keras terfokus. Istana (Kejagung), yang katanya basis penegakan hukum, ternyata berkhianat.
Pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono mencanangkan reformasi birokrasi dimulai pada institusi pilot project (Depkeu, BPK, dan MA). Padahal, sentrum pencitraan pemerintahan bersih bersumber pada optimalisasi kapasitas pemerintah. Mereformasi birokrasi, misalnya, bukan hanya tugas Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tetapi yang paling substrat sejauh mana kreativitas pemerintah mengambil langkah politis-progresif riil.
Tahun 2005, Thaksin Shinawatra—pengusaha pertelekomunikasian—memelopori pemberantasan KKN dengan memangkas birokrasi. KKN dinilai ikut memicu seretnya kemajuan ekonomi dan investasi negara. Ia pun mereformasi birokrasi layaknya perusahaan. Langkah paling prestisius, mengurangi pegawai lima persen dari 1,7 juta pegawai, (bandingkan di Indonesia sekitar 3,9 juta jiwa pegawai), lalu lima persen dari pegawai yang berkinerja buruk diberi pilihan, pensiun atau ikut pelatihan.
Yang dipensiun dikompensasi setara gaji delapan bulan di luar tunjangan rutin. Yang ikut pelatihan dievaluasi terus selama enam bulan. Jika tidak lulus, diberhentikan. Implikasinya: penciutan pegawai yang diimbangi peningkatan gaji mendorong kinerja. Kompetisi kinerja mendongkrak produktivitas yang diukur transparan. Iklim kerja positif birokrasi pun tumbuh. Alhasil Thaksin berhasil, korupsi dikurangi, investasi ekonomi Thailand bergairah kembali.
Kita tak bisa memimpikan tegaknya hukum jika aparaturnya dihasilkan oleh proses rekrutmen (politik) yang bobrok. Pemerintah harus berani memutusi patologis birokrasi dan hukum sebagai dalang korupsi yang menjauhkan bangsa ini dari pencapaian visinya.
Setelah 10 tahun upaya pemberantasan korupsi, mendung masih bergayut. Kita tak punya reminisensi yang menguatkan faktum, post nubila jubila (setelah mendung ada terang). Berantas korupsi tak cuma proforma ”dari istana”. Politik bukan hanya soal wacana, tetapi juga impetus pengorbanan dan kerja keras terfokus. Istana (Kejagung), yang katanya basis penegakan hukum, ternyata berkhianat.
Pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono mencanangkan reformasi birokrasi dimulai pada institusi pilot project (Depkeu, BPK, dan MA). Padahal, sentrum pencitraan pemerintahan bersih bersumber pada optimalisasi kapasitas pemerintah. Mereformasi birokrasi, misalnya, bukan hanya tugas Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tetapi yang paling substrat sejauh mana kreativitas pemerintah mengambil langkah politis-progresif riil.
Tahun 2005, Thaksin Shinawatra—pengusaha pertelekomunikasian—memelopori pemberantasan KKN dengan memangkas birokrasi. KKN dinilai ikut memicu seretnya kemajuan ekonomi dan investasi negara. Ia pun mereformasi birokrasi layaknya perusahaan. Langkah paling prestisius, mengurangi pegawai lima persen dari 1,7 juta pegawai, (bandingkan di Indonesia sekitar 3,9 juta jiwa pegawai), lalu lima persen dari pegawai yang berkinerja buruk diberi pilihan, pensiun atau ikut pelatihan.
Yang dipensiun dikompensasi setara gaji delapan bulan di luar tunjangan rutin. Yang ikut pelatihan dievaluasi terus selama enam bulan. Jika tidak lulus, diberhentikan. Implikasinya: penciutan pegawai yang diimbangi peningkatan gaji mendorong kinerja. Kompetisi kinerja mendongkrak produktivitas yang diukur transparan. Iklim kerja positif birokrasi pun tumbuh. Alhasil Thaksin berhasil, korupsi dikurangi, investasi ekonomi Thailand bergairah kembali.
Kita tak bisa memimpikan tegaknya hukum jika aparaturnya dihasilkan oleh proses rekrutmen (politik) yang bobrok. Pemerintah harus berani memutusi patologis birokrasi dan hukum sebagai dalang korupsi yang menjauhkan bangsa ini dari pencapaian visinya.
Umbu TW Pariangu
Dosen Administrasi Negara, FISIP Undana, Kupang
Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar