Rabu, 30 Juli 2008

Sanksi Belum Beri Efek Jera kepada Penyuap

Artalyta Suryani Dihukum Lima Tahun Penjara

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images Terdakwa Artalyta Suryani alias Ayin memasuki mobil tahanan seusai sidang pembacaan putusan terhadap dirinya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (29/7). Artalyta divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim dalam kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dollar AS. Kamis, 31 Juli 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Sanksi lima tahun terhadap Artalyta Suryani alias Ayin dinilai terlalu rendah dan tak memberikan efek jera kepada pelaku suap. Artalyta seharusnya dihukum lebih tinggi karena perbuatannya bukan hanya menyuap, tetapi menghancurkan proses hukum terhadap kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI pula.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin S mengatakan hal itu, Rabu (30/7) di Jakarta. Sebelumnya, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, memvonis lima tahun penjara kepada Artalyta yang dinilai terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Urip adalah ketua tim penyelidik kasus BLBI terkait Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
”Putusan itu sangat mengecewakan. Majelis hakim mestinya menggali hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan suap Rp 6 miliar lebih itu, terdakwa mengacaubalaukan kasus BLBI yang terkait dengan BDNI, yang nilai kerugian negara sampai Rp 22 triliun,” ujarnya.
Boyamin menilai dampak perbuatan Artalyta sangat besar. Karena itu, seharusnya Artalyta tidak hanya dijerat dengan pasal penyuapan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga pasal lain dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).
”Dengan demikian, Artalyta bisa dituntut dan dihukum lebih berat. Jika hanya lima tahun penjara, tak ada efek jera kepada penyuap dan tidak bisa dikirim ke Nusakambangan,” ujarnya.
Pakar hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Prof Dr Adi Sulistyono, berharap vonis lima tahun bagi Artalyta cukup menggetarkan calon penyuap. Namun, jika Artalyta mengajukan banding hingga kasasi, hakim di pengadilan yang lebih tinggi lebih progresif.
”Hakim di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung harus berani mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman dua kali dari vonis yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama,” ujarnya.
Yang terpenting, Adi menegaskan, apabila Artalyta mengajukan banding dan kasasi, masyarakat dan media massa wajib mengawal putusan itu. ”Jangan sampai Artalyta bermain-main dengan hakim di pengadilan tinggi dan hakim agung,” katanya.

Vonis sama dengan tuntutan
Dalam persidangan Selasa lalu, majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago dan anggota Edward Pattinasarany, Dudu Duswara, Andi Bachtiar, dan Ugo menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Artalyta. Vonis ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Terdakwa juga dihukum membayar denda Rp 250 juta. Artalyta juga tetap ditahan dan lamanya hukuman penjara dikurangi masa tahanan yang dijalani.
Majelis hakim menyatakan Artalyta terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan penyuapan. Karena itu, terdakwa harus dijatuhi setimpal dengan perbuatannya karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan bukti, keterangan saksi, ahli, dan keterangan terdakwa, tak terdapat alasan yang bisa menghapuskan sifat pertanggungjawaban pidana pada terdakwa.
Dalam pertimbangan hakim, tak ada hal-hal yang meringankan terdakwa. Sebaliknya hal yang memberatkan, selain tak mengakui kesalahan dan memberikan keterangan berbelit-belit, perbuatan Artalyta dinilai mencederai tatanan penegakan hukum di Indonesia.
Setelah membacakan putusan, hakim Mansyurdin memberikan waktu kepada terdakwa untuk menyatakan sikap menerima atau menolak vonis itu. Jika tak menerima, terdakwa bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
”Saya pikir-pikir Yang Mulia,” ujar Artalyta dengan singkat setelah berkonsultasi dengan tim penasihat hukum yang dipimpin OC Kaligis.
Sebaliknya, tim jaksa penuntut umum, Sarjono Turin, Zet Tadung Allo, dan Jaya Sitompul, menerima vonis itu, dengan alasan pertimbangan hukum majelis hakim mempunyai kesamaan dengan jaksa penuntut umum, baik dari tuntutan maupun denda.
Sidang pembacaan vonis terhadap Artalyta menarik perhatian pengunjung. Sesuai jadwal, seharusnya pembacaan putusan berlangsung pukul 09.00, tetapi sidang baru berlangsung pukul 10.45. Sejak pagi, gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta dipenuhi oleh pengunjung, terutama keluarga, kerabat, dan karyawan Artalyta.
Saat sidang dimulai, ruangan sidang di lantai satu penuh sesak, bahkan sampai lantai dasar dan halaman dipenuhi orang.
Seusai sidang, Artalyta dikawal ketat polisi meninggalkan pengadilan. Kaligis menyatakan, kliennya sangat kecewa dengan putusan majelis hakim. ”Dia bilang apa gunanya pengadilan kalau memang sejak semula dia sudah dihukum,” katanya. (son)

Kembali

Tidak ada komentar: