Sabtu, 23 Agustus 2008

Rasa Malu dan Jera untuk Korupsi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

Oleh
ROMLI ATMASASMITA

Ada pertanyaan menarik: apa hubungan antara rasa malu dan jera dengan semangat dan komitmen antikorupsi di kalangan khalayak, termasuk aparatur dan petinggi hukum di Indonesia?

Pertanyaan itu diakui masuk akal karena sebagian orang, apalagi penegak hukum, sudah terbiasa dengan pemikiran berkonstruksi normatif dan sering dilupakan bahwa hukum selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Begitu pula perkembangan kejahatan, termasuk korupsi. Van Savigny berpendapat bahwa hukum adalah pencerminan dari jiwa bangsa. Oleh karena itu, perkembangan hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan kejahatan yang selalu paralel dengan perkembangan masyarakat tempat kejahatan itu tumbuh dan berkembang.

Dalam konteks ini, membangun rasa malu dan jera terhadap perilaku korupsi hanya dapat dicerna dengan jernih jika kita berada dalam satu lingkungan komunitas yang memiliki semangat dan komitmen antikorupsi, bukan pada lingkungan yang sebaliknya. Sangat naif jika masih ada pendapat yang mempersoalkan kedua rasa itu, bahkan menegasikannya, dengan lebih mengedepankan pendekatan legalistik-normatif dan tertutup terhadap situasi dan kondisi korupsi yang semakin sistemik dan meluas. Untuk tujuan pemberantasan korupsi itulah Gerakan Reformasi tahun 1998 dikobarkan yang intinya memberantas KKN.

Di dalam empat kali perubahan UU Antikorupsi, Inpres 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta di dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004- 2009, membangun rasa malu dan jera tak tersentuh sama sekali, bahkan tak terpikirkan sama sekali.

Masih terbelah

Penegakan hukum terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukkan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi, termasuk kinerja lembaga penegak hukum. Dalam konteks APBN, secara finansial terbukti lebih besar pasak daripada tiang: penyelamatan kerugian keuangan negara karena korupsi lebih kecil dibandingkan dengan uang negara yang tak terselamatkan dan dilarikan ke luar negeri (kasus BLBI, kasus Migas, dan kasus pembalakan liar).

Sikap lembaga penegak hukum masih terbelah dalam fragmentarisme dan egoisme serta arogansi sektoral sehingga menghambat efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, terutama yang melibatkan aparatur penegak hukum serta anggota badan legislatif dan yudikatif. Peran komisi-komisi pengawas lembaga penegak hukum belum optimal dilaksanakan berkaitan dengan keterbatasan wewenang berdasarkan UU yang ada.

Membangun masyarakat sadar hukum sejak tahun 1970-an telah dicederai dengan keterlibatan aktif petinggi hukum dan aparatur penegak hukum dalam perilaku koruptif. Perbuatan itu menurunkan secara drastis tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Ada fenomena unik dan patut diamati secara serius, yaitu pertama, semakin intensif gerakan memberantas korupsi semakin tinggi resistensi terhadap langkah penegakan hukum yang dilaksanakan.

Semakin meluas kesadaran masyarakat untuk memberantas korupsi dan mendorong akuntabilitas serta transparansi dan integritas pejabat publik, semakin inklusif dengan bingkai normatif sikap pejabat publik terhadap kontrol masyarakat tersebut. Semakin meningkat KPK dan Kejaksaan Agung menangani perkara korupsi semakin permisif masyarakat serta sebagian birokrasi dan penegak hukum terhadap perilaku koruptif di dalam lingkungannya; bahkan semakin protektif terhadap kawan seiring yang koruptif dengan berbagai alasan normatif.

Semakin meninggi aspirasi keadilan sosial terhadap adanya kesenjangan dan diskriminasi perlakuan hukum terhadap para koruptor dibandingkan dengan tersangka/terdakwa miskin, semakin tuli dan buta tampaknya terhadap realitas sosial yang hadir di sekelilingnya. Berbagai bantuan teknis negara donor dalam miliaran dollar AS telah dikucurkan untuk pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, tetapi hasilnya mengejutkan bak kuali terbalik!

Kata kunci dari semua persoalan ini bukan pada UU, bukan pada semangat, komitmen, dan sikap; melainkan pada budaya malu yang hanya dapat dibangun dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Budaya malu tak dapat dibentuk dengan UU, melainkan dengan panutan yang konkret dari kepala keluarga, atasan, dan pemimpin pada tiga pilar kekuasaan di negeri ini.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

[ Kembali ]


Tak Ada Toleransi untuk Korupsi

Ada 18 Modus Penyalahgunaan Anggaran di Daerah
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara MPR/DPR, Jumat (22/8).

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan tidak ada toleransi bagi kejahatan korupsi di pusat maupun daerah. Meningkatnya transfer anggaran dari pusat ke daerah jangan sampai meningkatkan penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi.

Penegasan itu disampaikan Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jumat (22/8). Presiden didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hadir juga Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. ”APBN dan APBD adalah uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat,” ujar Presiden.

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-Perubahan 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan, pada tahun anggaran 2009, transfer dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.

”Pepatah mengatakan, ’Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’. Marilah kita mengemban amanah dan tanggung jawab dengan baik sehingga meninggalkan nama yang baik pula. Nama yang akan dikenang rakyat, jauh setelah kita meninggalkan jabatan yang kita emban,” ujar Yudhoyono.

ICW tunggu bukti

Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mendukung sikap Presiden Yudhoyono.

”Presiden memang tidak bisa lagi memberikan toleransi apa pun terhadap praktik korupsi dan kepada para koruptor yang telah merugikan negara. Yang ditunggu oleh rakyat sekarang adalah tindakan nyata dan dukungan konkret Presiden yang tak akan menoleransi tindakan korupsi yang dilakukan siapa pun. Apakah itu kelompoknya, keluarga, para menteri, atau teman sejawatnya,” ujar Teten.

Menurut dia, sejauh ini sudah ada tiga menteri yang sudah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. ”Tetapi, mereka belum diganti. Karena itu, pemerintah bisa dinyatakan belum free and clean. Tudingan korupsi masih menyelimuti kabinet,” katanya.

Presiden juga harus memberikan dukungan politik kepada KPK yang tengah mengusut tuntas kasus aliran dana BI dan kasus-kasus lainnya. ”Dukungan Presiden untuk membersihkan ’halaman rumahnya’ sendiri di Istana juga harus dilakukan secara efektif sehingga bukti pernyataan tidak adanya toleransi bagi tindakan korupsi bisa terwujud,” kata Teten.

Peringatan KPK

Ketua KPK Antasari Azhar, kemarin, mengajak semua gubernur, bupati, serta wali kota untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan menggunakannya secara transparan.

Antasari mengingatkan beberapa modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah. Salah satunya adalah membuat berita acara fiktif pada akhir tahun agar bisa mendapatkan anggaran. Proyeknya sesungguhnya belum berjalan, tetapi agar uang bisa masuk, ditulis seakan-akan sudah selesai. Selanjutnya, begitu uang masuk, uang itu tidak dialokasikan sebagaimana mestinya tetapi dibagi-bagi. ”Ini persoalan yang harus kita selesaikan,” ujarnya.

Dalam bahan yang dibagikan secara tertulis kepada semua peserta, KPK bahkan membeberkan 18 modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah (lihat tabel).

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution juga mendorong semua pemerintah daerah agar berani membuang kebiasaan lama pada era Orde Baru, seperti memberi macam- macam kepada setiap pejabat pusat yang datang ke daerah. ”Harus berani bilang, ’No’,” kata Anwar.

Dia juga meminta pemerintah daerah segera mewujudkan sistem pembukuan negara yang terpadu. Hanya dengan demikian pemerintah dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuiditasnya setiap saat.

Pemerintah daerah juga harus meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya dengan, antara lain, memperbaiki sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset dan utang, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan, serta tanggung jawab anggaran.

Rapat harus transparan

Rapat pembahasan APBN di DPR dinilai sebagai titik rawan yang membuka peluang terjadinya praktik korupsi menjelang Pemilu 2009. Pembahasan APBN secara tertutup dikhawatirkan hanya akan menguntungkan elite politik DPR dan pemerintah.

”DPR masih setengah hati membuka pembahasan anggaran. DPR cenderung melaksanakan rapat anggaran secara tertutup. KPK seharusnya bisa mengetahui mekanisme penyusunan anggaran secara tertutup ini,” kata Yuna Farhan dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) saat jumpa pers Koalisi untuk APBN 2009, Jumat.

Koalisi untuk APBN 2009 ini terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, Seknas Fitra, Sanggar Bandung, PP Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Pusat Telaah Informasi Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat, Pattiro Jakarta, Civic for Budgeting Advocacy, Seknas Jaringan Transparansi dan Akuntabilitas untuk Pembangunan (Seknas Jari Indonesia), dan Gerakan Antikemiskinan Rakyat Indonesia (Gapri).

Menurut Yuna, pembahasan APBN rawan kebocoran, menyusul langkah para elite untuk mengongkosi politik mereka menjelang Pemilu 2009.

Masih terkait pidato Presiden, Abdul Gafur dari Gapri menyangsikan data turunnya angka kemiskinan yang disampaikan Yudhoyono. ”Kalau memang orang miskin turun, Presiden Yudhoyono harus menunjukkan di mana saja lokasi orang miskin itu turun. Sebab, secara kasatmata, orang turun ke jalan semakin banyak,” kata Gafur.

Ia menilai program pembangunan pemerintah sering kali tak tepat sasaran. (HAR/VIN/SUT)

[ Kembali ]

Selasa, 12 Agustus 2008

Tak Gentar dengan Penjara

Oleh Hasrul Halili
Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 12 Agustus 2008

Berita Komite Penyelidik dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah, yang menyerukan agar Presiden tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus (Kompas, 4/8/2008), menarik disimak.

Sekretaris KP2KKN secara lugas menyatakan, jika Presiden memberi remisi kepada para koruptor karena kelakuan baik selama di penjara, hal itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Korupsi yang notabene dikeluarkan Presiden.

Meski wacana yang dikembangkan KP2KKN adalah soal remisi, jika dibaca dari perspektif lebih luas, seruan itu bisa ditempatkan sebagai kritik terhadap efektivitas pidana penjara di Indonesia, sebagai salah satu bentuk pemidanaan yang diyakini bisa mewujudkan fungsi hukum pidana, terkait efek jera (deterrent effect), bagi terpidana korupsi.

Lima fungsi hukum

Mengutip Wayne R La Fave dalam Modern Criminal Law (Siswanto, 2005), ada lima fungsi hukum pidana.

Pertama, retribution. Pemidanaan digunakan sebagai balasan dan pemberian penderitaan setimpal terhadap pelaku pidana berdasarkan prinsip an eye for an eye.

Kedua, detterence. Timbulnya rasa jera.

Ketiga, denunciation. Penegasan bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang adalah salah.

Keempat, incapatitation. Menjaga (melalui penahanan) agar pelaku tidak mampu lagi melaku-kan tindak pidana.

Kelima, rehabilitation. Perbaikan pelaku tindak pidana.

Tersirat dari seruan KP2KKN keraguan terhadap efektivitas pidana penjara dalam menimbulkan efek jera saat penjara menjadi bagian mata rantai peradilan yang sarat korupsi. Remisi hanya satu titik rentan praktik koruptif dari beberapa titik rawan lain di penjara, seperti pemberian fasilitas tertentu, dan perlakuan istimewa.

Berbagai laporan pemantauan peradilan yang dilakukan aktivis pemantau peradilan, misalnya, mengidentifikasi, remisi telah dimanipulasi menjadi ”barang yang diperjualbelikan bebas” kepada terpidana koruptor yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (LP).

Contoh, tahun 2006, Tommy Soeharto mendapat ”kucuran remisi beruntun”. Tommy merupa-kan terpidana kasus pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata gelap. Banyak pihak mempersoalkan transparansi dan akuntabilitas pemberian remisi kepada Tommy yang belakangan, pada kasus korupsi, dirinya diputus bebas murni oleh pengadilan.

Tak gentar

Melihat kondisi LP yang telah korup, wajar jika ada yang meragukan efektivitas fungsi pemidanaan dalam bentuk pidana penjara. Alih-alih terjadi efek jera, kehadiran para koruptor justru menyuburkan praktik koruptif di penjara. Koruptor yang seharusnya datang ke penjara sebagai pesakitan, justru menjadi powerfull. Ia bisa mengatur dan mengondisikan apa pun di penjara sesuai kehendaknya.

Pada situasi penuh praktik koruptif, seperti di LP Indonesia, penjara tidak lagi menjadi bui menakutkan bagi koruptor. Koruptor tak gentar lagi dengan penjara. Jangan-jangan hal ini bisa menjadi penjelasan, mengapa banyak orang tidak takut dipenjara dan tetap bermain-main dengan korupsi. Keangkeran penjara tidak lagi menakutkan. Bahkan, mungkin mereka berpikir jika kelak menjadi terpidana, penjara dan semua perangkat aparat dengan mudah bisa ”dibeli” dengan hasil korupsi.

Dalam konteks inilah menjadi relevan kritik terhadap efektivitas pidana penjara (plus pidana denda) terhadap koruptor sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001. Dengan mengemukakan, alternatif hukuman lain diasumsikan bisa menimbulkan efek jera dan rasa ngeri terhadap siapa pun yang ingin bermain api dengan korupsi, seperti wacana hukuman mati yang mengemuka akhir-akhir ini. Introduksi tentang wacana hukuman mati sendiri memancing perdebatan alot.

Setidaknya aktivis HAM antihukuman mati akan kembali mengargumentasikan berbagai keberatannya, baik dari sudut filsafat moral, konstitusionalitas, maupun penerapannya dalam hukum pidana. Titik krusial yang akan dikemukakan adalah apakah tidak terlalu riskan menerapkan hukuman mati dalam perkara korupsi di tengah proses peradilan yang rentan terkontaminasi praktik judicial corruption. Belum lagi cara kerja aparat penegak hukum yang tidak profesional dan penegakan hukum yang diskriminatif karena lebih dilatarbelakangi ”motif politis” daripada motif penegakan hukum murni.

Fungsi pemidanaan

Intensi tulisan ini hanya ingin menegaskan kembali pentingnya mengembalikan fungsi pemidanaan penjara dalam menimbulkan efek jera terhadap para koruptor dengan mengondisikan kembali LP agar benar-benar menjadi kawah untuk membuat koruptor kapok. Dan, itu rasanya tidak akan terjadi pada kondisi LP mudah dikendalikan terpidana korupsi.

Meminjam logika berpikir Wesley Cragg (1992) dalam The Practice of Punishment: Towards a Theory of Restorative Justice, penegakan hukum mestinya berkaitan erat dengan gagasan penerapan hukuman. Itu berarti, bicara spektrum penegakan hukum korupsi, di dalamnya juga harus diperhatikan perbaikan sistem di LP sehingga gagasan bahwa bentuk hukuman penjara merupakan instrumen penjeraan bagi koruptor masih menemukan signifikansinya. Jika tidak demikian, para koruptor pasti tak gentar dengan penjara.

Hasrul Halili Direktur Eksekutif Pusat Kaijan Antikorupsi (Pukat); Dosen Fakultas Hukum UGM

[Kembali]


Kamis, 07 Agustus 2008

Ketua BPK Kecewa Fokus Pengungkapan Kasus BI

Ada Kejahatan Besar yang Belum Diungkap KPK
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution mengaku kecewa dengan langkah penegakan hukum atas kasus aliran dana Bank Indonesia.
Penegak hukum hanya memfokuskan pada kasus suap-menyuap aliran dana BI dari pejabat BI kepada sejumlah anggota DPR. Padahal, ada kejahatan besar lainnya, di antaranya kasus manipulasi pembukuan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan neraca BI, ketentuan BI mengenai Informasi tentang Nasabah (Know Your Customer), ketentuan mengenai pencucian uang (money laundering), dan pelanggaran Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Demikian disampaikan Anwar saat dihubungi Kompas seusai bertemu dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di ruang kerja Wapres, Jakarta, Kamis (7/8). Pertemuan dengan Wapres Kalla dilakukan tertutup sehingga tidak dipublikasikan kepada pers. Anwar pun mengaku pertemuannya dengan Wapres hanya membahas masalah audit tsunami yang menjadi perhatian lembaga audit negara-negara donor.
”Pengadilan yang berjalan sekarang nuansanya hanya fokus kepada kasus suap-menyuap. Padahal, ada kejahatan besar yang belum diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu kasus manipulasi pembukuan YPPI dan BI, pencucian uang, pelanggaran UU Yayasan dan ketentuan Know Your Customer BI,” ujar Anwar.
Menurut Anwar, laporan BPK kepada KPK sebenarnya sudah mengungkapkan empat kejahatan besar yang seharusnya bisa diungkap KPK. ”Jadi, bukan sekadar kasus suap-menyuap saja. Tetapi, BPK kan hanya mengungkapkan saja berdasarkan audit. Tindak lanjut penyidikan dan lainnya, bukan BPK yang melakukannya,” ujar Anwar.
Dalam laporan BPK kepada KPK, akhir 2006, disebutkan adanya penggunaan dana YPPI senilai Rp 68,5 miliar untuk pemberian bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi gubernur BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kredit ekspor, dan kasus lain. Penggunaan dana itu berindikasikan menimbulkan sangkaan korupsi dan penyuapan karena YPPI dibentuk untuk bidang pendidikan.
YPPI diputuskan mengeluarkan dana Rp 100 miliar. Sebesar Rp 68,5 miliar digunakan untuk pemberian bantuan hukum dan Rp 31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR Bidang Perbankan periode tahun 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Dana itu dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

Paskah bantah isi kesaksian
Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan, semua informasi tentang dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus aliran dana BI ke anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang muncul di pengadilan adalah tidak benar. Namun, dia menyerahkan penilaian akhir kepada majelis hakim.
”Kalau yang berkembang di Pengadilan (Khusus Tindak Pidana Korupsi) itu semua tidak benar. Iya (yang dinyatakan) di bawah sumpah juga. Namun, kalau kata-katanya, kan bukan dari saya,” kata Paskah di kantor KPK, Jakarta, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan ketika Paskah ditanya tentang isi kesaksian mantan Kepala Biro Humas BI Rizal Anwar Djafaara dan Kepala Perwakilan BI di New York Lucky Fathul Aziz Hadibrata di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu lalu.
Dalam kesaksiannya, Rizal menyatakan, anggota DPR, Hamka Yandhu, yang sudah menjadi tersangka dalam perkara ini, pernah mengatakan kepadanya bahwa Paskah ingin bertemu dengan Gubernur BI (saat itu) Burhanuddin Abdullah.
(har/nwo)

[Kembali]

Inilah Zaman Bandit Berkeliaran

Oleh I Wibowo
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 6 Agustus 2008.

Sebanyak 52 anggota DPR terlibat suap. Begitu berita harian ini delapan hari lalu. Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan.
Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan atas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, reformasi mestinya berjalan mulus?
Keganjilan ini dapat diterangkan secara sederhana dengan mengikuti karya Mancur Olson, Power and Prosperity (2000). Olson juga bertanya tentang reformasi, tetapi reformasi di Rusia: mengapa setelah rezim represif runtuh, bukan kesejahteraan yang muncul, melainkan kelompok jaharu? The lifting of the iron curtain revealed something else that the developed nations of the West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect to see: an extraordinary amount of official corruption and Mafia-style crime? Sama seperti kita di Indonesia, reformasi di Rusia juga dijalankan dengan memakai program demokratisasi dan pasar bebas.

Dua macam bandit
Olson menerangkan keanehan ini dengan model bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa rezim represif, seorang bandit berkuasa, tetapi dia bandit menetap. Artinya, dia tak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.
Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjarah habis wilayah, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.
Ketika Indonesia di bawah Soeharto, ”orang kuat” ini menguasai seluruh Indonesia dan rakyatnya. Kekuatan Soeharto berhasil membuat semua orang bergantung kepadanya. Sementara itu, orang-orang di sekitar Soeharto merasa senang dan nyaman. Tak hanya mendapat perlindungan, juga sedikit kekayaan. Memang Soeharto terkenal membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau mengabdinya. Hal ini berlaku bagi pegawai negeri, pengusaha swasta, dan militer.
Maka, penguasa tunggal itu berstatus bandit menetap dan menimbulkan stabilitas yang lumayan sehingga Indonesia dipuji Bank Dunia akan menjadi ”macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya, ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi. Namun, ini merupakan kelihaian Soeharto. Sebagai bandit menetap, ia tak menguras habis kekayaan Indonesia, juga tak mengembangkannya. Ia membiarkan Indonesia pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduk untuk berusaha dan cukup untuk dikuras. Indonesia memang maju, tetapi tak akan pernah maju sampai ke titik maksimal.

Zaman bandit berkeliaran
Menurut Olson, begitu bandit menetap runtuh, muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang ”bos”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apa pun. Tak ada yang ditakuti. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras yang siap menjalankan aksinya.
Situasi ini persis sama dengan di Rusia sebagaimana dianalisis Olson. Ketika bandit menetap (Partai Komunis) disingkirkan, muncullah bandit berkeliaran yang menguasai daerah-daerah maupun wilayah kekuasaan lain. Mereka nyaris mengabaikan kendali oleh pusat, bergerak sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Di Indonesia datangnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Sistem yang lebih tepat diberi nama ”demokrasi prosedural” ini pada dasarnya membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kekuasaan otoriter Soeharto sekaligus menciptakan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia. Aktor-aktor ini—entah tergabung dengan parpol entah tidak—belajar bagaimana memanipulasi pemilu/ pilkada menjadi kepala eksekutif atau anggota legislatif.
Sistem demokrasi sebenarnya adalah sistem yang tak stabil. Semua politikus—di tingkat nasional, lebih-lebih di tingkat daerah—sadar, kesempatan terus duduk di kursinya hanya sekali itu saja karena sistem demokrasi menuntut rotasi pemimpin. Daripada memanfaatkan masa baktinya secara optimal, mereka malah mendapat insentif menjalankan penjarahan dan menguras habis. Mumpung berkuasa, mereka memanfaatkannya sebaik mungkin.
Khusus tentang anggota DPR/ DPRD. Yang membuat mereka makin kalap dan tak terkendali adalah sistem pemilihan anggota legislatif yang tak menganut sistem distrik: nasib mereka bergantung pada pemimpin umum partai, bukan rakyat tempat pemilihan mereka. Sebagai pion partai, mereka menyetor hasil kepada partai. Dalam sistem ini, oknum memang penting, tetapi partai lebih penting. Hasil sogok- menyogok ini hanya sebagian masuk kantong sendiri. Selebihnya untuk setoran partai.
Begitulah para bandit berkeliaran menerjang memasuki wilayah-wilayah Indonesia, menguras kekayaan di situ, lalu pergi. Sementara itu, bandit berkeliaran lain telah menunggu!
I Wibowo
Koordinator ”Dijkstra Society” Jakarta

[Kembali]

Poly-Tikus Harus Dibasmi

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Senin, 21 Jul 2008 by Budi Winarno


Negeri ini membutuhkn politisi yang penuh pengabdian kepada Tanah Air. Pengabdian itu bermaka mengutamakaan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebaliknya, bangsa ini tidak membutuhkan politisi yang kerjanya hanya menggerogoti uang negara. Politisi yang menggerogoti kewenangan yang dimiliki, menggerogoti hak rakyat demi perut kekuasaannya."Kita tidak butuh politisi berjiwa tikus yang suka menggerogti segala macam barang, atau mereka yang sebenarnya tikus namun berkedok politisi. Negeri ini butuh politisi sejati, bukan poyi-tikus, yang artinya banyak tikus atau sekumpulan tikus".Hal ini dikatakan Staf Khusus Presiden Ssusilo Bambang Yudhoyono Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, Heru Lelono, pada peluncuran buku karyanya berjudul Polytikus Harus Dibasmi, Satu Dasawarsa Refleksi Perjalanan Bangsa, di Jakarta, Sabtu (19/7)Menurut Heru, politisi berjiwa tikus yang tersebar mulai dari pemerintah pusat, DPR, hingga pemerintah daerah dan DPRD harus dibasmi. Jika tidak, maka politisi tersebut akan menggerogoti keuangan negara hingga bangkrut. Menurut Heru, virus korupsi dapat berupa korupsi uang, hingga virus yang paling berbahaya yakni korupsi kekuasaan. Virus korupsi kekuasaan dikatakan sangat berbahaya karena dapat menyebar dan menjangkiti para pemegang kekuasaan. Ciri penyakit korupsi kekuasaan ini, kata Heru, berupa penyalahgunaan wewenang. "Sangat menular karena mustahil sebuah penyalahgunaan wewenang dapat berhasil bila dilakukan seorang diri saja," katanya.Penyalahgunaan wewenang itu misalnya tampak dalam bentuk pembuatan undang-undang (UU) seperti terjadi akhir-akhir ini. Contoh yang paling nyata untuk hal ini adalah tertangkapnya sejumlah anggota DPR saat menerima suap atas pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Heru, korupsi telah menjadi penyakit akut dan menular di tanah air selama bertahun-tahun merdeka. Karena itu, kebijakan pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas pemerintahan SBY, dinilainya sangat mendasar dan tepat. Korupsi yang marak akhir-akhir ini, kata Heru, selain karena ketamakan para pelaku, juga mengindikasikan hilangnya etika berpolitik para politisi.
Pengusaha sekaligus teman dekat Heru, Peter F. Gontha mengatakan, kekuasaan adalah awal dari segala bentuk korupsi. Peter mengapresiasi pencapaian selama masa reformasi, khususnya masa pemerintahan SBY. "Sepuluh tahun pencapaian selama masa reformasi sudah luar biasa. Tapi kita harus sabar," katanya.
Kesabaran itu sangat dibutuhkan agar kita tidak mencari jalan pintas dan melabrak tatanan yang sudah dibangun dengan susah payah. Salah satu bentuk ketidaksabaran itu misalnya, muncul dalam sikap beberapa kalangan yang meragukan keandalan demokrasi."Kini, terjadi tarik ulur terhadap demokrasi. Ada yang ingin menegakannya tapi ada yang ragu dan hendak meninggalkannya," katanya.Buku setebal 215 halaman itu adalah kumpulan pemikiran reflektif penulis selama 10 tahun terakhir yang telah diterbitkan beberapa media. Buku ini, kata Heru, bukan sebuah garis politik, tapi ungkapan hasil sementara proses belajar dalam usaha memahami kehidupan bernegara.Presiden SBY pada halaman akhir buku itu mengatakan, Heru Lelono adalah figur yang patut diteladani karena ia berbicara apa adanya. "Terbuka, mendasar dan dari hatinya. Untuk membangun demokrasi berakhlak di negeri ini, kita perlukan tokoh dan pelaku politik seperti ini," kata SBY.

Very Herdiman

[Kembali]

Mafia Legislatif

Oleh Eddy O.S Hiariej
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 07 Agt 2008


Headline beberapa media cetak, 29 Juli 2008 yang memberitakan 52 anggota yang menerima aliran dana dari Bank Indonesia terkait diseminasi Undang-Undang Bank Indonesia cukup mencengangkan publik. Betapa tidak, para anggota DPR yang mulia adalah representasi rakyat yang seyogyanya memiliki integritas moral yang baik dalam mengemban amanat dan kepercayaan rakyat, namun kenyataanya melakukan praktek korupsi sebagai perbuatan tercela. Fakta tersebut meyakinkan publik bahwa praktek korupsi tidak hanya dalam pelaksanaan undang-undang tetapi sudah dimulai dari pembuatan undang-undang.
Pada saat yang sama, beberapa mantan petinggi Bank Indonesia, sedang berada di kursi pesakitan sebagai terdakwa dengan dua dakwaan : Pertama, Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan yang kedua terkait diseminasi undang-undang Bank Indonesia. Artinya, active bribery dalam kasus tersebut sedang diadili, sedangkan pasive bribery dalam kasus yang sama masih belum tersentuh oleh hukum. Bahkan, beberapa orang diantara mereka yang telah menerima suap buru-buru mengembalikan uang setelah kasus ini terbongkar. Padahal, pengembalian uang tidaklah menghapus tuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kata, kalimat, bahkan koma dan titik dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR mempunyai nilai rupiah. Dengan kata lain, pasal-pasal yang dirumuskan dalam suatu undang-undang adalah berdasarkan pesanan pemilik modal sehingga suap-menyuap dalam proses pembahasan suatu rancangan undang-undang niscaya selalu terjadi. Dalam bahasa yang lebih halus biasanya suap-menyuap dalam pembahasan undang-undang di DPR dikenal dengan istilah 'biaya loby' atau 'biaya diseminasi'.
Korupsi Politik
Dalam konteks kriminologi, apa yang terjadi selama ini dalam proses pembahasan suatu undang-undang dikenal dengan istilah political bribery. Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Criminolgy, second edition,1995, mendefinisikan political bribery sebagai kegiatan dewan legislatif untuk membentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kelompok kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut dapat meliputi kepentingan ideologi, kepentingan partai atau kepentingan golongan tertentu, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Harapannya, anggota dewan dapat membuat aturan yang menguntungkan kelompok kepentingan tersebut.
Selain itu, masih menurut Beirne dan Messerschmidt, masih ada tipe korupsi yang lain yaitu political kickbacks, election fraud dan corrupt campaign practices. Political kickbacks mempunyai cakupan yang lebih luas yang bisa berkaitan dengan kegiatan legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Political kickbacks dalam kaitannya dengan kegiatan legislatif pada dasarnya sama dengan political bribery. Hanya saja rumusan undang-undang yang diinginkan adalah untuk melindungi kepentingan pengusaha. Di bidang eksekutif biasanya kickbacks dalam bentuk gratifikasi. Demikian pula di bidang yudikatif biasanya untuk memenangkan sebuah perkara atau membebaskan terdakwa dari sebuah kasus pidana.
Sedangkan election fraud yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan pada saat pemilihan umum seperti pemalsuan adaministrasi calon anggota legislatif, kecurangan pada saat perhitungan suara, memberikan sesuatu untuk mempengaruhi melaksanakan hak pilih yang semuanya itu berkaitan dengan uang dan atau sesuatu imbalan termasuk didalamnya menjanjiakan atau mengiming-imingi sesuatu. Sementara corrupt campaign practices adalah praktek-praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara. Dalam tipe yang keempat ini biasanya berkaitan langsung dengan calon anggota legislatif agar dapat terpilih melalui daerah pemilihannya.
Kembali kepada political bribery di Dewan, kejahatan kolektif seperti ini biasanya merupakan kejahatan terorganisasi ala kerja mavia di Itali, Yakuza di Jepang dan Triad di China. Kejahatan tersebut terbungkus rapi karena kewenangan yang melekat pada mereka dalam membentuk undang-undang dan tanpa keseriusan untuk memberantasnya, niscaya kejahatan tersebut tidak akan pernah terbongkar. Dalam konteks yang demikian, substansi undang-undang tidak lagi mencerminkan kebutuhan masyarakat tetapi lebih pada hasil kejahatan.
Dalam kaitannya dengan aliran dana Bank Indonesia yang menimpa sejumlah Anggota dan mantan Anggota DPR, ada beberapa catatan penulis :
Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani membawa semua pelaku ke pengadilan terkait aliran dana Bank Indonesia. Keterangan saksi yang menyebutkan nama 52 Anggota DPR yang telah menerima aliran dana tersebut diucapkan dibawah sumpah dan di depan sidang pengadilan. Artinya, keterangan saksi tersebut adalah alat bukti yang sah untuk memproses mereka yang menerima suap.
Kedua, terkait dengan yang pertama, pengadilan terhadap para penerima suap adalah untuk mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan, karena beberapa top level di Bank Indonesia sedang diproses secara hukum. Dalam penyuapan, baik pemberi suap, maupun penerima suap adalah pelaku kejahatan.
Ketiga, mereka penerima suap yang sedang menjabat sebagai anggota DPR maupun pejabat tinggi negara lainnya, Dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, seyogyanya mengundurkan diri dari jabatan guna mempermudah proses hukum dan demi menjaga nama baik serta kredebilitas Dewan dan Pemerintah.
Keempat, atau yang terakhir, mekanisme hukum ini harus benar-benar ditegakkan sebagai shock therapy untuk memberantas mafia legislatif yang selama ini terjadi.
Eddy O.S Hiariej
Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Korupsi Para Politikus

Oleh Sigit Pamungkas
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008 halaman 06.

Korupsi yang terjadi di berbagai institusi publik hampir selalu melibatkan para politikus. Kategori korupsinya termasuk skala besar.
Sedikit sekali korupsi berskala besar tanpa menyertakan politisi. Terkuaknya anggota Komisi IX DPR yang menerima dana Bank Indonesia sebesar Rp 21,6 miliar membuktikannya.
Selain itu, terkuaknya berbagai kasus korupsi juga menyiratkan, korupsi bukan sebuah patologi dari bekerjanya sistem politik normal. Korupsi sepertinya bukan penyakit yang harus dilawan, dilumpuhkan, atau dimatikan keberadaannya. Korupsi justru terlihat sebagai metode bekerja dari sistem politik (Lay, 2006).
Sebagai metode, korupsi adalah normalitas, aturan, dan tata kerja bagi politisi dan pejabat birokrasi. Sementara itu, mekanisme yang bersih justru dilihat sebagai abnormalitas.
Pada perspektif ini, semua proses politik dalam menjalankan pemerintahan akan berujung pada kegagalan jika tidak dilakukan dengan korupsi. Alih fungsi hutan, revisi undang-undang, dan pengadaan peralatan akan gagal bila tidak disertai korupsi. Korupsi harus dilakukan jika pemerintahan tidak ingin jalan buntu.

Struktur pemaksa
Analisis bahwa lemahnya moralitas menjadi penyebab korupsi tidaklah tepat. Sebab, korupsi juga melibatkan politisi dengan partai berbasis agama yang dipersepsikan memiliki kualitas moral lebih baik.
Penjelasan budaya sebagai penyebab korupsi juga tidak relevan karena penyelesaian korupsi akan berputar-putar tidak pernah selesai. Budaya tidak statis, senantiasa bermetamorfosis. Suatu saat sebuah budaya memfasilitasi terjadinya korupsi, pada saat lain dapat mendorong terjadinya sikap antikorupsi.
Sebenarnya korupsi para politikus bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007).
Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga.
Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.
Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.
Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya.
Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik akan mati.
Karena itu, selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai.
Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis. Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian.
Dilema solusi
Sayang, pilihan solusi untuk memecahkan kelangkaan keuangan partai agar bertahan tetap terjaga juga terbatas. Iuran anggota sebagai pilar sumber keuangan partai tidak berjalan baik, padahal sumber ini berpotensi mengatasi korupsi sekaligus membangun kemandirian partai.
Selain itu, sumbangan kepada partai juga sulit digunakan sebagai cara mencegah korupsi politisi karena atas nama fairness dan independensi jumlah sumbangan dibatasi. Padahal, asal sumbangan dikelola transparan ketakutan terhadap efek negatif sumbangan berlebihan dapat dicegah. Mengandalkan bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhan partai juga tidak mungkin karena jumlahnya terbatas.
Mengandalkan survavilitas partai berbasis finansial tampaknya perlu digeser, dari berbasis besaran finansial yang diakumulasi dan didistribusikan menjadi ke arah survavilitas berbasis kepercayaan publik. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

Sigit Pamungkas
Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM