Kamis, 31 Juli 2008

Agama Baru Korupsi

Oleh Umbu TW Pariangu
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Bak layang-layang, negeri ini gagal menjangkau tingginya langit biru. Telanjur diremas patologi korupsi yang menjauhkannya dari visi mulia (reformasi). Kehancuran negara akibat KKN pada stadium mengerikan (Bdk Rosse-Ackerman, 1999).
Sejak upaya eliminasi korupsi dari istana, diharapkan ada komitmen dan konsistensi. Ternyata, komitmen pemerintah dilanda sindrom anualitas. Upaya meringkus koruptor surut di bawah rapuhnya hukum. Kasus DKP, BLBI, dan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK yang menerima 660.000 dollar AS dari Artalyta, hingga maraknya suap di DPR, telah menyayat nurani bangsa.
Korupsi, ”agama” baru
Ada beberapa pelajaran dari peristiwa itu. Ternyata negara tidak sesempurna imagine community-nya Ben Anderson dalam mengafirmasi kekuatan tak terjamah yang menyatukan bangsa. Sebaliknya, elite leluasa berkelit, menggunting soliditas bangsa dalam dua antaseden.
Pertama, kentalnya ketamakan dan hedonisme, lekat dengan ketidakpuasan destruktif yang merobek keadilan dan pemerataan.
Kedua, antipati ekstrem terhadap moral selaku pegangan konstruksi politik-hukum. Nyaris tiada institusi ”moral” kebal korupsi. Maka, korupsi menjadi ”agama” baru yang menghimpun seluruh kelaknatan sistem, individu untuk merampok aset, modal negara dan mempreteli ideologi bangsa. Semua dianuti demi keselamatan sendiri.
”Agama” korupsi mengonotasikan sesuatu yang diferen dan terbalik dan negara gagal mengoperasikan kebajikan umum. Ketika Komisi Antikorupsi (KPK) dibentuk tahun 1970, Mohammad Hatta (dikutip dari Smith 1971 : 21) menyitir: perilaku korupsi semacam ”seni hidup”, bahkan ”budaya” baru. Dalam perspektif perubahan perilaku- nya Schwitzgebel and Kolb (1974), korupsi yang memasif didorong interaksi sosial warga.
Kode ”etik” lembaga kita lebih mengakomodasi orang kaya— tetapi kotor—dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Realitasnya, hukum selalu mengalibikan kekuatan negara sebagai pembentuk common good. Selaku panglima pembangunan, hukum dipahami dalam logika piramida terbalik. Bahwa orang—berkepentingan besar—selalu dalam strata teratas, mudah membeli hukum sedangkan kaum grass root diciprati pesimistis.
Pengorbanan
Setelah 10 tahun upaya pemberantasan korupsi, mendung masih bergayut. Kita tak punya reminisensi yang menguatkan faktum, post nubila jubila (setelah mendung ada terang). Berantas korupsi tak cuma proforma ”dari istana”. Politik bukan hanya soal wacana, tetapi juga impetus pengorbanan dan kerja keras terfokus. Istana (Kejagung), yang katanya basis penegakan hukum, ternyata berkhianat.
Pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono mencanangkan reformasi birokrasi dimulai pada institusi pilot project (Depkeu, BPK, dan MA). Padahal, sentrum pencitraan pemerintahan bersih bersumber pada optimalisasi kapasitas pemerintah. Mereformasi birokrasi, misalnya, bukan hanya tugas Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tetapi yang paling substrat sejauh mana kreativitas pemerintah mengambil langkah politis-progresif riil.
Tahun 2005, Thaksin Shinawatra—pengusaha pertelekomunikasian—memelopori pemberantasan KKN dengan memangkas birokrasi. KKN dinilai ikut memicu seretnya kemajuan ekonomi dan investasi negara. Ia pun mereformasi birokrasi layaknya perusahaan. Langkah paling prestisius, mengurangi pegawai lima persen dari 1,7 juta pegawai, (bandingkan di Indonesia sekitar 3,9 juta jiwa pegawai), lalu lima persen dari pegawai yang berkinerja buruk diberi pilihan, pensiun atau ikut pelatihan.
Yang dipensiun dikompensasi setara gaji delapan bulan di luar tunjangan rutin. Yang ikut pelatihan dievaluasi terus selama enam bulan. Jika tidak lulus, diberhentikan. Implikasinya: penciutan pegawai yang diimbangi peningkatan gaji mendorong kinerja. Kompetisi kinerja mendongkrak produktivitas yang diukur transparan. Iklim kerja positif birokrasi pun tumbuh. Alhasil Thaksin berhasil, korupsi dikurangi, investasi ekonomi Thailand bergairah kembali.
Kita tak bisa memimpikan tegaknya hukum jika aparaturnya dihasilkan oleh proses rekrutmen (politik) yang bobrok. Pemerintah harus berani memutusi patologis birokrasi dan hukum sebagai dalang korupsi yang menjauhkan bangsa ini dari pencapaian visinya.

Umbu TW Pariangu
Dosen Administrasi Negara, FISIP Undana, Kupang

Kembali

Tindaklanjuti Kesaksian Hamka Yandhu

Sikap
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 31 Jul 2008, halaman 10.
Pernyataan anggota DPR Hamka Yandhu ketika bersaksi dalam sidang kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin lalu (28/7), sungguh mencengangkan. Dalam kesaksian itu, ia mengungkapkan bahwa semua anggota Komisi IX Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 menerima dana YPPI itu.
Dalam penyuapan secara massal itu, menurut Hamka, anggota Komisi Keuangan menerima uang dari dana YPPI rata-rata Rp250 juta-Rp300 juta per orang. Ada beberapa orang yang menerima Rp500 juta, bahkan Rp1 miliar. Di antara anggota Komisi Keuangan DPR 1999-2004 itu, sekarang ada yang menjadi pejabat negara. Mereka antara lain Paskah Suzzeta yang kini menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan MS Kaban yang kini menjadi Menteri Kehutanan. Sementara Baharudin Aritonang dan Abdullah Zaini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Kasus korupsi dana Bank Indonesia yang berasal dari YPPI ini merugikan negara sebesar Rp100 miliar. Dana tersebut diberikan ke panitia perbankan Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang BI. Sisanya Rp68,5 miliar untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan Deputi Gubernur Senior BI dalam kasus BLBI.
Sejauh ini, tiga mantan petinggi Bank Sentral telah dijadikan terdakwa, yakni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Komunikasi Rusli Simanjuntak. Dua mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang banyak berperan dalam pembagian dana BI telah dijadikan tersangka, yakni Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin.
Bukti-bukti dan para saksi yang diperiksa selama penyidikan hingga persidangan mengungkapkan sejumlah fakta yang mesti ditindaklanjuti. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti mencermati bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian itu untuk membongkar kasus aliran dana BI sebesar Rp100 miliar ini secara tuntas tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.
Para mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang telah menerima dana YPPI harus diperiksa semua. Sikap tak pandang bulu dan tak mau kompromi harus dipegang kuat karena kasus ini melibatkan para pejabat tinggi yang masih berkuasa, yakni dua menteri dan dua anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, para penerima dana YPPI tersebut adalah tokoh politik yang memiliki kekuatan untuk melawan tindakan hukum terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka masih aktif sebagai anggota DPR, pejabat eksekutif, atau pemimpin partai politik.
KPK juga mesti menindaklanjuti bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian lain yang terungkap dalam sidang sebelumnya. Kesaksian para mantan pejabat BI yang menerima dana bantuan hukum mengungkapkan uang itu mereka gunakan untuk keperluan lain.
Mantan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata mengaku menggunakan dana bantuan hukum Rp13,5 miliar dari YPPI untuk membeli rumah. Sisanya, disimpan dalam deposito atas nama anaknya. Mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono mengaku menerima dana YPPI Rp25 miliar, sedang mantan Direktur BI Hendro Budianto mengaku menerima Rp10 miliar, untuk sosialisasi dan diseminasi. Namun, kemudian mereka mengatakan uang itu sebagai utang dan akan dikembalikan.
Pernyataan-pernyataan yang janggal itu mesti diperiksa, dan ini merupakan kesempatan bagi KPK.

Penonaktifan Dipertimbangkan

Korupsi Berdampak Serius pada Lembaga DPR
Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 02.

Jakarta, Kompas - Terungkapnya 52 nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima dana Bank Indonesia di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Senin lalu, berdampak serius pada lembaga. Pimpinan DPR akan mengundang pimpinan fraksi dan Badan Kehormatan untuk mengambil sikap, termasuk kemungkinan penonaktifan anggota yang terlibat.
”Ini menimbulkan dampak serius bagi DPR karena jumlahnya banyak dan melibatkan hampir semua fraksi,” ucap Ketua DPR Agung Laksono, Selasa (29/7).
Selama ini, dalam menyikapi para anggota Dewan yang terlibat dalam kasus dana BI, pimpinan DPR hanya menunggu proses hukum. Namun, kali ini pimpinan DPR tampaknya akan mengambil langkah lebih tegas.
Ketika ditanya pers apakah anggota Dewan yang terlibat akan dinonaktifkan, Agung yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar mengatakan tidak menutup kemungkinan. ”Kita lihat nanti, meskipun tidak tertutup kemungkinan. Saya belum bisa bicara sekarang karena belum dibicarakan dengan pimpinan fraksi dan BK (Badan Kehormatan),” ujarnya.
Membantah
Mantan anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Baharuddin Aritonang, yang sekarang menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menegaskan, dia sama sekali tidak tahu-menahu soal dana BI tersebut. Dia juga menyatakan tidak menerima dana tersebut.
”Saya tidak ikut Pansus UU Bank Indonesia maupun Panja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kegiatan yang terkait BI,” ujarnya.
Bantahan juga datang dari Hakam Naja dan Rizal Djalil, keduanya anggota Fraksi Reformasi. Hakam dan Rizal membantah telah menerima aliran dana dari BI sebesar Rp 250 juta. ”Saya tidak pernah menerima dana itu, baik yang diberikan oleh Bank Indonesia sendiri maupun oleh pihak yang mengatasnamakan Bank Indonesia,” tulis Hakam dalam surat tertulisnya yang diterima Kompas, Rabu.
Sedangkan Rizal dalam surat tertulisnya mengatakan, selain tidak pernah menerima aliran dana BI dari Hamka Yandhu, ia juga tak pernah diminta Hamka untuk membagikan atau mendistribusikan aliran dana BI kepada anggota Fraksi Reformasi lainnya.
Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menyatakan, bantahan sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sudah dapat diduga. ”Sangkal-menyangkal ini fenomena klasik. Yang penting, mereka yang disebut Hamka Yandhu telah menerima dana dari BI perlu diperiksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk membuktikan kebenarannya,” ucap Emerson.

Usut tuntas
Secara terpisah, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan dukungannya atas pengusutan dugaan keterlibatan puluhan anggota DPR dalam kasus aliran dana BI.
Hidayat mengemukakan hal itu, Rabu, di sela-sela deklarasi delapan syarat komitmen kemasyarakatan yang ditandatangani 200 calon anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS), asal daerah pemilihan Jawa Tengah, di Kota Semarang.
Menurut Hidayat, kasus ini memang memprihatinkan, terlebih terdapat sejumlah tokoh yang duduk di dalam kabinet pemerintah, seperti halnya Paskah Suzetta dan MS Kaban. ”Kita berharap proses pengusutan di lembaga legislatif itu dapat tuntas,” katanya.
Pada deklarasi delapan komitmen masyarakat, Hidayat kembali mengingatkan bahwa Pemilu 2009 tetap menjadi tantangan besar bagi PKS untuk meningkatkan jumlah perolehan suara dibandingkan dengan Pemilu 2004. (SUT/NWO/WHO)

Kembali

Rabu, 30 Juli 2008

Reformasi Bukan Revolusi

TAJUK RENCANA
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 06.

Apa yang membangkitkan komparasi itu? Perasaan kecil hati ketika kita membaca banyaknya anggota DPR yang menerima dana dari Bank Indonesia.
Sebelumnya, media memaparkan jumlah kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan dan kasusnya tersebar luas di semua provinsi sehingga memberi kesan merata ke seluruh negeri. Padahal, sementara itu, gerakan dan tindakan hukum antikorupsi semakin gencar pula. Muncul pertanyaan dan gugatan diri, apa makna dan dampak reformasi jika penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan lewat korupsi begitu marak?
Perasaan kecewa, kecil hati, dan terpukul harapan itulah yang mendorong kita membuat perbandingan antara reformasi dan revolusi. Maksudnya agar duduk perkara dan proporsinya jelas dan kita tetap bersemangat melanjutkan reformasi.
Revolusi dipahami sebagai perubahan fundamental secara radikal, serentak, dan cenderung disertai kekerasan. Reformasi adalah perubahan yang bisa juga mendasar, tetapi tidak sekaligus serentak, melainkan cenderung damai tanpa disertai kekerasan. Makan waktu, bertahap, tanpa kekerasan tetapi konsisten.
Apakah jika reformasi ditempatkan pada konotasi pengertian di atas, kita lantas boleh puas dan sabar dengan beragam penyimpangan dan pelanggaran yang hampir berupa skandal itu? Di antaranya, yakni meratanya korupsi serta beragam skandal kasus dan pengadilan korupsi akhir-akhir ini?
Jelas, kita tidak boleh puas dan justru harus terhinggapi perasaan heran, gemas, serta protes seperti yang kita rasakan ini. Namun, pada waktu yang sama, perlu menangkap perbedaan antara revolusi dan reformasi.
Reformasi bukan perubahan mendasar dan radikal yang mendadak sontak seraya menjungkirbalikkan semua nilai lama. Reformasi tetap suatu perubahan yang makan waktu tetapi konsisten, yang tak sekaligus mendadak sontak, tetapi bertahap serta serius disertai tujuan dan kriteria yang jelas tanpa disertai kekerasan.
Dalam konteks pengertian reformasi, kita pada tempatnya heran dan gemas terhadap berbagai kasus yang sepertinya memberikan kesan tak berdayanya reformasi dan masa depannya gerakan pembaruan tersebut. Namun, serentak dengan sikap dan perasaan itu, kita juga paham bahwa memanglah makan waktu dan jatuh bangun tetapi masih dalam kerangka reformasi itu.
Lagi pula, jangan juga kita alpakan keberhasilan dibangunnya institusi peradilan dan efektivitas kinerja institusi itu. Yakni, institusi KPK yang berhasil mengungkap kasus korupsi dan membawanya ke pengadilan.
Hal itu menimbulkan reaksi dan perasaan ganda, terkejut dan kecewa, karena masih begitu banyak terjadi korupsi dalam periode reformasi, tetapi sekaligus menunjukkan betapa KPK telah berhasil mengungkap dan mengadili kasus korupsi secara begitu efektif.
Dalam kaitan itulah kita katakan, reformasi bukan revolusi. Reformasi harus jalan terus!

Hukuman Mati untuk Koruptor

Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, mis, 31 Juli 2008 halaman 06
Oleh ROMLI ATMASASMITA
Wacana hukuman mati bagi koruptor akhir-akhir ini mencuat setelah hakim tipikor menjatuhkan vonis terhadap terdakwa ART hanya lima tahun.
Hukuman itu tentu merupakan ancaman hukuman maksimum bagi siapa pun yang terbukti melanggar Pasal 5 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan masyarakat yang menyesalkan ancaman itu, seharusnya ditujukan kepada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim tipikor atau jaksa penuntut KPK.

Untuk pelaku tipikor
Dalam undang-undang itu, ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tipikor yang melanggar Pasal 2 Ayat 1, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk dihapuskan di dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) dengan UU No 12 Tahun 1995; hanya pada Pasal 6 Konvenan itu masih dibolehkan dalam tiga keadaan.
Pertama, hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan yang serius (serious crimes).
Kedua, tidak dapat diberlakukan UU secara retroaktif.
Ketiga, harus atas dasar putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap.
Keempat, tidak dapat diterapkan terhadap wanita yang sedang hamil dan anak di bawah usia 18 tahun. Jika pidana mati diterapkan, penerapannya harus mempertimbangkan hak seorang terdakwa pidana mati untuk mendapat pengampunan dan komutasi dengan pidana lainnnya.
Rancangan KUHP (2007) telah memuat jenis pidana mati sebagai pidana kekecualian, bukan termasuk pidana pokok, bahkan diatur kemungkinan penjatuhan pidana mati bersyarat untuk memberi pertobatan agar kelak yang bersangkutan terhindar dari pelaksanaan pidana mati.
Ancaman pidana mati juga masih merupakan pidana pokok di dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman pidana mati dimasukkan ke dalam empat pasal tentang tindak pidana terorisme.

Diborgol
Merujuk dua sisi hukum nasional dan hukum internasional itu, semakin jelas, perkembangan pengaturan pidana mati semakin moderat, berbeda dengan aspirasi sementara masyarakat untuk menerapkan dan tetap menghidupkan ancaman pidana mati terhadap kejahatan serius.
UU Pemberantasan Korupsi khusus Pasal 2 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang memuat ancaman pidana mati perlu diubah dan diperjelas dengan ancaman alternatif pidana selain pidana mati, seperti sanksi kerja sosial, sehingga efek jera akan muncul saat yang bersangkutan berada di hadapan publik melakukan pekerjaan di tempat umum.
Untuk menambah efek jera, tersangka korupsi seharusnya dikenai pemborgolan dan dengan baju tahanan seperti diterapkan di negeri jiran (Malaysia dan Singapura). Tindakan itu tidak dilakukan di Indonesia sehingga tersangka korupsi dapat berjalan bebas layaknya bukan tersangka dan mengunjungi kantor KPK seperti hendak berkantor saja.
Sanksi sosial
Sanksi sosial tampaknya lebih berguna daripada menjatuhkan hanya pidana mati terhadap koruptor, yang terbukti tidak efektif dan mampu mencegah serta memberantas korupsi, seperti telah terjadi di China. Semakin banyak koruptor di China ditembak mati di hadapan publik justru korupsi tidak semakin berkurang. Bahkan, kini China mempelajari sistem pencegahan korupsi yang berhasil dijalankan Pemerintah Korea Selatan.
Yang terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan masalah ancaman pidana setinggi-tingginya, tetapi bagaimana memelihara dan mempertahankan agar pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dijalankan secara konsisten. Juga tidak ada perlakuan berbeda berdasarkan status sosial dan ekonomi terpidana, termasuk sejak yang bersangkutan dalam masa penahanan sampai menjalani pidananya, seperti adanya rumah tahanan dan LP layaknya hotel berbintang empat.
Pengawasan ekstra ketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan pidana menjadi masalah penting di Indonesia untuk memberi efek jera dibandingkan pidana mati yang masih diragukan efek jeranya.
Maka, perlu peninjauan kembali ketentuan tentang remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan jadwal kunjungan di rumah tahanan dan LP, terutama bagi pelaku kejahatan serius termasuk korupsi.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

Kembali

Sanksi Belum Beri Efek Jera kepada Penyuap

Artalyta Suryani Dihukum Lima Tahun Penjara

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images Terdakwa Artalyta Suryani alias Ayin memasuki mobil tahanan seusai sidang pembacaan putusan terhadap dirinya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (29/7). Artalyta divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim dalam kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dollar AS. Kamis, 31 Juli 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Sanksi lima tahun terhadap Artalyta Suryani alias Ayin dinilai terlalu rendah dan tak memberikan efek jera kepada pelaku suap. Artalyta seharusnya dihukum lebih tinggi karena perbuatannya bukan hanya menyuap, tetapi menghancurkan proses hukum terhadap kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI pula.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin S mengatakan hal itu, Rabu (30/7) di Jakarta. Sebelumnya, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, memvonis lima tahun penjara kepada Artalyta yang dinilai terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Urip adalah ketua tim penyelidik kasus BLBI terkait Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
”Putusan itu sangat mengecewakan. Majelis hakim mestinya menggali hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan suap Rp 6 miliar lebih itu, terdakwa mengacaubalaukan kasus BLBI yang terkait dengan BDNI, yang nilai kerugian negara sampai Rp 22 triliun,” ujarnya.
Boyamin menilai dampak perbuatan Artalyta sangat besar. Karena itu, seharusnya Artalyta tidak hanya dijerat dengan pasal penyuapan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga pasal lain dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).
”Dengan demikian, Artalyta bisa dituntut dan dihukum lebih berat. Jika hanya lima tahun penjara, tak ada efek jera kepada penyuap dan tidak bisa dikirim ke Nusakambangan,” ujarnya.
Pakar hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Prof Dr Adi Sulistyono, berharap vonis lima tahun bagi Artalyta cukup menggetarkan calon penyuap. Namun, jika Artalyta mengajukan banding hingga kasasi, hakim di pengadilan yang lebih tinggi lebih progresif.
”Hakim di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung harus berani mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman dua kali dari vonis yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama,” ujarnya.
Yang terpenting, Adi menegaskan, apabila Artalyta mengajukan banding dan kasasi, masyarakat dan media massa wajib mengawal putusan itu. ”Jangan sampai Artalyta bermain-main dengan hakim di pengadilan tinggi dan hakim agung,” katanya.

Vonis sama dengan tuntutan
Dalam persidangan Selasa lalu, majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago dan anggota Edward Pattinasarany, Dudu Duswara, Andi Bachtiar, dan Ugo menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Artalyta. Vonis ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Terdakwa juga dihukum membayar denda Rp 250 juta. Artalyta juga tetap ditahan dan lamanya hukuman penjara dikurangi masa tahanan yang dijalani.
Majelis hakim menyatakan Artalyta terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan penyuapan. Karena itu, terdakwa harus dijatuhi setimpal dengan perbuatannya karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan bukti, keterangan saksi, ahli, dan keterangan terdakwa, tak terdapat alasan yang bisa menghapuskan sifat pertanggungjawaban pidana pada terdakwa.
Dalam pertimbangan hakim, tak ada hal-hal yang meringankan terdakwa. Sebaliknya hal yang memberatkan, selain tak mengakui kesalahan dan memberikan keterangan berbelit-belit, perbuatan Artalyta dinilai mencederai tatanan penegakan hukum di Indonesia.
Setelah membacakan putusan, hakim Mansyurdin memberikan waktu kepada terdakwa untuk menyatakan sikap menerima atau menolak vonis itu. Jika tak menerima, terdakwa bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
”Saya pikir-pikir Yang Mulia,” ujar Artalyta dengan singkat setelah berkonsultasi dengan tim penasihat hukum yang dipimpin OC Kaligis.
Sebaliknya, tim jaksa penuntut umum, Sarjono Turin, Zet Tadung Allo, dan Jaya Sitompul, menerima vonis itu, dengan alasan pertimbangan hukum majelis hakim mempunyai kesamaan dengan jaksa penuntut umum, baik dari tuntutan maupun denda.
Sidang pembacaan vonis terhadap Artalyta menarik perhatian pengunjung. Sesuai jadwal, seharusnya pembacaan putusan berlangsung pukul 09.00, tetapi sidang baru berlangsung pukul 10.45. Sejak pagi, gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta dipenuhi oleh pengunjung, terutama keluarga, kerabat, dan karyawan Artalyta.
Saat sidang dimulai, ruangan sidang di lantai satu penuh sesak, bahkan sampai lantai dasar dan halaman dipenuhi orang.
Seusai sidang, Artalyta dikawal ketat polisi meninggalkan pengadilan. Kaligis menyatakan, kliennya sangat kecewa dengan putusan majelis hakim. ”Dia bilang apa gunanya pengadilan kalau memang sejak semula dia sudah dihukum,” katanya. (son)

Kembali

Selasa, 29 Juli 2008

Tersangka Harus Diborgol

Pencegahan Korupsi
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008.

Jakarta, Kompas - Selama ini perlakuan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terhadap tersangka korupsi masih terhormat. Hal itu tak menimbulkan efek jera, bahkan tersangka tidak bisa dibedakan dari orang lain yang datang ke KPK. Karena itu, semestinya tersangka korupsi diberikan seragam khusus dan diborgol, seperti tersangka lain.
Demikian dikatakan guru besar pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, dalam diskusi tentang pencegahan korupsi di Jakarta, Senin (28/7).
Diskusi yang diprakarsai Indonesian Legal Roundtable dan harian Kompas itu menampilkan pula Wakil Ketua KPK M Yasin, anggota Komisi III DPR Benny K Harman, dan Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch sebagai narasumber.
Romli mengatakan, sebenarnya sanksi sosial lebih efektif untuk mencegah korupsi dibandingkan dengan sanksi pidana, termasuk hukuman mati. Karena itu, KPK harus berani memulai, dengan tersangka korupsi diborgol dan memakai seragam saat diperiksa. Kondisi ini juga dilakukan di sejumlah negara. Bahkan, ada menteri di negara tetangga, karena disangka korupsi, tetap diborgol dan memakai seragam penjara saat diperiksa.
Menurut Romli, pemakaian seragam tahanan dan borgol kepada tersangka korupsi tak melanggar hukum. KPK mempunyai kewenangan untuk menerapkannya. ”KPK tak perlu menyatakan tidak akan mempermalukan tersangka. Ini untuk menimbulkan efek jera,” kata mantan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Yasin mengakui, KPK memang sudah membahas kemungkinan pengenaan seragam dan pemborgolan bagi tersangka korupsi. Tak ada pimpinan KPK yang keberatan dengan ide itu, sepanjang untuk menimbulkan efek jera terhadap tersangka korupsi. ”Tunggu saja dalam waktu dekat aturan itu akan diterapkan,” katanya.
Romli juga menjelaskan, dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diperkenalkan hukuman kerja sosial. Sebab itu, untuk memperkuat efek penjeraan, terpidana korupsi perlu diberikan sanksi tambahan kerja sosial, seperti yang diterapkan di Korea Selatan.
”China, yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, kini juga belajar ke Korsel. Sebab, begitu hukuman mati diterapkan, korupsi masih tetap saja terjadi,” ujar Romli lagi.
Benny menambahkan, kini di DPR berkembang semangat kebatinan untuk mematikan KPK secara perlahan-lahan. Semangat ini muncul sejak KPK menangkap sejumlah anggota DPR yang diduga terlibat dalam korupsi.
Terhadap ”ancaman” dari Dewan itu, Teten menegaskan, KPK harus tetap maju. Bahkan, apabila memang ada buktinya, 100 anggota DPR yang disangka terlibat korupsi harus ditangkap. ”KPK harus bertindak cepat,” katanya. Partai politik yang tegas menindak anggotanya yang korupsi pasti didukung rakyat. (vin/tra)

Senin, 28 Juli 2008

52 Anggota DPR Terlibat

Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008, halaman 01

JAKARTA, KOMPAS - Semua anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004, yangberjumlah 52 orang, disebut menerima dana dari Bank Indonesia, dengan nilai total Rp 21,6 miliar. Pembagiandana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda terima, dan tidak ada pertanggungjawaban.
Jumlah terbesar diterima Ketua Komisi IX saat itu Paskah Suzetta sebesar Rp 1 miliar, disusul Rp 500 juta yang diterima Hamka Yandhu dan Danial Tanjung, dan Rp 400 juta diterima Amru Al Mu'tashim. Anggota Komisi IX lainnya menerima sekitar Rp 250 juta - Rp 300 juta. Dana yang diterima Antony Zeidra Abidin, tersangka kasus aliran dana BI kepada anggota DPR, tak diketahui.
Kucuran dana BI pada anggota Komisi IX DPR ini diungkapkan Hamka Yandhu YR, mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IX DPR, saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan BI, dengan terdakwa mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simandjuntak di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (28/7).
Selain Hamka, sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Moefri itu juga mendengarkan keterangan dua mantan anggota Komisi IX DPR, Amru Al Mu'tashim dan Aly As'ad, serta mantan Direktur BI Paul Sutopo.
Hamka, yang tampil setelah Paul, pada awal memberikan keterangan dengan suara perlahan dan terbata-bata. Ia menyatakan pada 2003 Komisi IX DPR pernah menerima dana dari BI. Dana itu diserahkan Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari (pengurus YPPI) melalui Antony. Antony lalu meminta Hamka untuk menyalurkan dana itu.
Dana dari BI itu diberikan pada Komisi IX dalam empat tahap. Tahap I sebesar Rp Rp 2 miliar, tetapi yang diterima Hamka Rp 1,8 miliar. Tahap II sebesar Rp 5,5 miliar, yang diterima Hamka Rp 4,95 miliar. Tahap III sebesar Rp 10,5 miliar, yang diterima Hamka Rp 9,45 miliar. Tahap IV sebesar Rp 6 miliar, yang diterima Hamka Rp 5,4 miliar. Dana itu diserahkan secara tunai dalam koper, untuk dibagikan oleh Hamka pada anggota Komisi IX lainnya.
Ditanya hakim mengapa jumlahnya berkurang, kata Hamka, menurut informasi Antony dipotong 10 persen. ”Potongan 10 persen itu untuk siapa?” tanya hakim Moefri. Hamka menjawab, ”Ya mungkin untuk Asnar. Karena Antony bilang mereka potong 10 persen.”
Pada awalnya, Hamka mengaku pemberian dana itu dua kali diberikan Rusli dan Asnar di rumah Antony, dan dua kali diserahkan di hotel. Namun, ketika majelis hakim bertanya kembali, Hamka mengaku tak ingat. ”Yang saya ingat hanya dua kali di rumah Antony dan di hotel. Pertama lupa, yang kedua di rumah Antony, yang ketiga di hotel, yang keempat lupa saya, Pak,” katanya lagi. Ia mengakui, besaran bagian untuk anggota Komisi IX ditentukan Antony,
Hamka menyatakan, dari yang dia dengar dari Antony, dana itu dalam rangka diseminasi dan sosialisasi undang-undang BI dan dalam rangka Pemilu.
Dalam persidangan, Hamka juga menegaskan, 52 anggota Komisi IX DPR yang berasal dari sembilan fraksi menerima dana dari BI seluruhnya. Nama penerima dana itu dibacakan majelis hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang kemudian dibenarkan Hamka.
Nama Paskah disebutkan
Saat Hamka menyebutkan 12 nama dari Fraksi Partai Golkar, hakim sempat bertanya apakah ada lagi dari fraksinya yang menerima dana BI, selain yang disebutkan. Hamka menyebutkan nama Paskah Suzetta.
”Paskah Suzetta berapa ?” tanya hakim Moefri
”Eh, lupa jumlahnya, Pak. Kurang lebih Rp 1 miliar,” jawab Hamka.
”Beliau menerima.” tanya Moefri lagi. Hamka menjawab, ”Ya.”
Hakim Moefri bertanya kembali, ”Yang menyerahkan kepada Paskah Suzetta siapa ?” Hamka menjawab, ”Saya sendiri.” Hakim Moefri kembali bertanya berapa jumlahnya, dan dijawab Hamka, diberikan bertahap jumlahnya sekitar Rp 1 miliar.
Anggota majelis hakim I Made Hendra Kusuma bertanya, selain anggota Komisi IX dari sembilan fraksi apakah ada unsur pimpinan Komisi IX yang menerima dana itu. Hamka menyebutkan, selain Paskah Suzetta, ada juga Emir Moeis, Faisal Baasir, dan Ali Masykur Musa.
Adakah pertanggungjawaban terhadap dana itu? Hamka yang April 2008 lalu mengembalikan dana Rp 500 juta yang diterimanya, hanya menjawab singkat. ”Mereka sudah terima, enggak perlu bikin laporannya, Pak.” Hamka juga mengaku menyerahkan dana itu di ruang kerjanya pada jam istirahat. Masing-masing perwakilan fraksi diminta datang.
Hamka menyatakan ada anggota Komisi IX juga pernah ikut studi banding ke Amerika Serikat. Perjalanan itu dibiayai BI.
Amru dan Aly As'ad mengakui pula pernah menerima dana Rp 300 juta secara bertahap. Namun, dana itu dikembalikan, setelah penggunaan dana BI itu terungkap dan disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Amru mengakui menerima dana melalui Hamka. Sebelum menerima dana itu, dia menerima pesan layanan singkat dari teleponnya agar ke ruangan kerja Hamka. Kali pertama Hamka menyerahkan dana Rp 100 juta yang dimasukkan dalam amplop. Ia sempat bertanya uang apa itu, tetapi dijawab Hamka, ”Halal. Terima saja.” Sepuluh hari kemudian, ia masih menerima dua kali lagi sebesar Rp 200 juta.
Amru menyatakan, dia menyadari dana itu bukan uang resmi, sehingga ketika dipanggil KPK ia mengembalikannya. ”Saya sudah tua. Daripada mengganjal saya kembalikan Rp 300 juta itu,” katanya lagi.
Aly juga mengakui tiga menerima uang dari Hamka, masing-masing Rp 100 juta. Seperti dikatakan Hamka, uang itu untuk kepentingan sosialisasi UU dan kampanye Pemilu 2004. (SON)

Kembali

Wajah Hukum Indonesia

Oleh Satjipto Rahardjo
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 06.

Sudah seharusnya hukum dibicarakan dalam konteks manusia. Membicarakan hukum yang hanya berkutat pada teks dan peraturan, bukanlah membicarakan hukum secara benar dan utuh, tetapi hanya ”mayat” hukum. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia. Hukum formal adalah hukumnya para profesional hukum. Yang mereka bicarakan adalah ide yang sudah direduksi menjadi teks. Karena itu, saya menamakannya ”mayat’. Para profesional memang memerlukan pegangan hukum formal itu sebagai modal untuk bekerja. Di tangan mereka hukum ”bisa” ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua.
Pembangunan manusia Akhir-akhir ini marak kembali pembicaraan tentang manusia Indonesia (”Masa Depan Manusia Indonesia”, Kompas, 21/7/2008). Ini bagus untuk membangun hukum Indonesia. Pada hemat saya, membangun hukum Indonesia dimulai dari manusianya. Selama ini kita kurang cerdas dalam siasat berhukum. Hukum memang diperlukan, tetapi juga tidak terlalu diperlukan. Maka kita tidak usah terlalu sibuk memproduksi undang-undang, membangun orde hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan sebagainya. Contohnya, periode kepresidenan Habibie membanggakan karena mampu mengeluarkan puluhan produk undang-undang. Namun, usaha itu tidak berbanding lurus dengan ketertiban di masyarakat. Undang-undang menumpuk, tetapi persoalan tidak kunjung terselesaikan dengan baik, bahkan kian terpuruk. Kapan kita mulai belajar dari pengalaman? Pengalaman membangun hukum selama ini telah mengabaikan manusia-manusia, baik yang menjalankan maupun yang menjadi adresat hukum. Maka, kita harus mendahulukan pembangunan manusia Indonesia lebih dulu. Dari situ, hukum akan turut terbangun dan kehidupan menjadi lebih baik. Berkali-kali, harian ini menyajikan tulisan agar kita memerhatikan kaitan erat antara hukum dan manusia. Dengan demikian, juga akan terangkat pentingnya faktor manusia dalam hukum. Hukum itu bukan hanya peraturan, tetapi lebih merupakan potret dari perilaku kita sendiri (Kompas, 23/9/2002). Sebelum berbicara tentang penegakan hukum (enforcement) kita harus bicara tentang perilaku santun dan tertib lebih dulu (Kompas, 17/4/2007). Selalu saja manusia akan berkelebat, setiap kali hukum dibicarakan. Untuk mengenali betul hukum Amerika Serikat, lihatlah manusianya. Begitu juga untuk memahami hukum Jepang dengan baik, selidikilah potret manusia Jepang lebih dulu. Tetapi, memahami hukum Amerika Serikat dan Jepang hanya dari teks formal saja, itu keliru besar. Jika kita menyadari hal-hal itu, siasat untuk bangun dari keterpurukan hukum menjadi berubah amat besar. Bukan (tatanan) hukum yang dikutak-katik, tetapi lebih dulu menggarap (perilaku) manusia Indonesia. Kiranya, dengan berbagai kekurangannya, hukum Indonesia sudah dapat dipakai sebagai modal untuk bangun dari keterpurukan. Apa kurangnya UU Antikorupsi yang sudah berkali-kali disempurnakan? Apa salahnya membentuk KPK dan Pengadilan Tipikor? UU Antikorupsi, KPK, Pengadilan Tipikor dibuat, tetapi ironisnya, korupsi malah merebak di mana-mana. Dari Sabang sampai Merauke, dari menteri dan DPR sampai bupati dan DPRD. Teori-teori berguguran karena undang-undang malah menimbulkan efek negatif. UU Antikorupsi telah menyuburkan korupsi. Kita telah salah menembak sasaran.
Pendidikan budi pekerti Janganlah memandang remeh pendidikan budi pekerti bagi anak-anak pada usia (amat) dini sebagai bagian dari pendidikan hukum. Perilaku disiplin, antre, jujur, menghormati teman, kesantunan, adalah contoh-contoh pendidikan hukum par exellence. Maka, pendidikan hukum yang ideal adalah yang langsung menohok substansi perilaku, tanpa perlu menyebut kata ”hukum” sama sekali. Menyuruh anak- anak membaca teks undang-undang adalah pendidikan hukum yang buruk. Mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dapat diajarkan kepada anak-anak, tetapi bukan dengan membaca teks. Berikan alasan substansial kepada anak-anak mengapa harus antre, jujur, dan sebagainya, tetapi jangan dengan mengutip teks undang-undang. Ajarkanlah budi pekerti hukum, bukan teks hukum. Tampilkan perilaku manusia, bukan undang-undang. Hari sudah sangat siang, keterpurukan, keambrukan (collapse) hukum sudah nyata di depan mata. Kita membutuhkan cara-cara progresif untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan itu. Cara itu adalah dengan mereparasi perilaku buruk manusia Indonesia. Apa yang dilakukan Prof Koentjaraningrat (1969) dan Mochtar Loebis (1977) adalah membuat diagnosis yang perlu diikuti dengan terapinya. Sudah 30 tahun peringatan itu dibiarkan berlalu. Manusia Indonesia perlu diobati lebih dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem dan sebagainya.

Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Keluar dari Jerat Korupsi

Oleh Saldi Isra
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 6.

Selama dua hari berturut-turut, harian Kompas (21-22/7), menurunkan laporan kasus korupsi di berbagai daerah dan di berbagai instansi yang terungkap atau diproses selama tahun 2008. Laporan itu menyadarkan kita, betapa praktik korupsi benar-benar telah menggurita di tingkat pusat maupun daerah.
Belum lagi tuntas membaca ”peta korupsi” yang dimuat Kompas itu, masyarakat kembali disentakkan perilaku menyimpang jaksa Tri Urip Gunawan dalam penanganan kasus korupsi. Ketika memberi kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (24/7), Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf mengakui terpaksa memberi uang Rp 1 miliar kepada jaksa Urip (Kompas, 25/7).
Jika pengakuan Glenn Yusuf ditambah kasus suap antara jaksa Urip dan Artalyta Suryani, sulit membantah sinyalemen yang berkembang selama ini, penanganan kasus korupsi sarat dengan pemerasan dan suap. Dalam banyak kasus, penegak hukum memanfaatkan pemberantasan korupsi untuk memperoleh keuntungan finansial dengan menjadikan mereka yang tersangkut kasus korupsi sebagai mesin uang.
Bagaimana menjelaskan mengguritanya praktik korupsi dengan perilaku menyimpang penegak hukum? Bahkan, dalam kasus BLBI, perhatian publik yang begitu luas tak menimbulkan rasa takut penegak hukum untuk melakukan penyimpangan. Lalu, langkah progresif apakah yang mungkin dilakukan untuk menghambat laju korupsi agar negeri ini tidak masuk jurang kehancuran?

Substansi hukum
Substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu, substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat norma hukum yang tidak jelas atau kabur.
Substansi hukum yang kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai kepentingan masing- masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari kasus suap dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip benar-benar ”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski belum tentu tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri. Namun dapat dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis kelemahan substansi hukum dalam perkara BLBI.
Salah satu substansi hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum adalah adanya peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati kasus BLBI, penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup bukti. Setelah kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan, alasan tidak cukup bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.
Dari penjelasan itu, terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu dimanfaatkan secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi dijatuhi pidana maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK yang mampu sedikit mengkhawatirkan koruptor.
Langkah progresif
Untuk keluar dari jerat korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah progresif berupa pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum dan pelaku tindak pidana korupsi.
Untuk substansi hukum, diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada, tidak mungkin menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi substansi hukum sama dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.
Sementara itu, penegak hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi shock-therapy dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat perbuatan yang begitu memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana maksimal. Memberikan hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan kasus korupsi tentu tidak akan memberi efek jera.
Khusus untuk pelaku korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau dengan mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah progresif lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses hukum, dalam setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan) harus memakai pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka harus menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.
Saya percaya, tanpa langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari jeratan korupsi. Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur karena korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?
Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara;
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Perang Melawan Korup(si)tor

Oleh Aloys Budi Purnomo
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 6

Laporan Kompas (21/7/2008) terkait merebaknya korupsi dari Aceh sampai Papua membuat kita semua terenyak. Sedemikian parah republik ini digerogoti perilaku koruptif, dari pusat hingga daerah, dari Sabang sampai Merauke!
Itu baru laporan fakta korupsi 2008, belum memperhitungkan data tahun 2005-2008. Sepanjang tahun 2005-2008, ada delapan gubernur-wakil gebernur dan 32 bupati-wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota yang terjerat kasus korupsi. Masih lagi, ratusan anggota DPRD berbagai daerah yang diperiksa dan diadili karena kasus korupsi.
Elite politik dan kekuasaan republik ini sudah benar-benar korup! Tak ada lagi tempat bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme! Inilah penghambat utama cita-cita menyejahterakan rakyat! Karena itu, tidak ada kata lain kecuali menyerukan perang melawan korupsi dan koruptor!

Musuh rakyat
Kini, musuh rakyat tidak lain adalah para koruptor! Di tengah keterpurukan sosial-ekonomi, dan rakyat sulit mengais rezeki banyak elite politik dan kekuasaan tega mencuri uang rakyat.
Sungguh suatu paradoks. Mereka yang dipilih rakyat dan dipercaya mengemban tugas demi kesejahteraan rakyat justru mencuri harta rakyat dan membesarkan perut sendiri dengan korupsi. Mereka tidak menggunakan kesempatan untuk melayani rakyat, tetapi sibuk mencari kekayaan pribadi.
Para elite politik dan kekuasaan negeri ini, mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, telah berkhianat terhadap rakyat. Mereka yang dipilih dan dipercaya mengemban tugas menyejahterakan rakyat menata masa depan bangsa dan menjaga keadilan hidup bersama justru berbalik menjadi musuh rakyat.
Kaidah salus populi suprema lex tak lagi berarti untuk republik ini. Keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi tidak hanya tidak terwujud dalam tingkat peradilan yang korup, tetapi juga pada tingkat kesejahteraan rakyat yang tidak segera terwujud!
Ini merupakan dampak paling buruk praktik KKN yang telah merajalela di seluas Nusantara. Para politikus kita selalu menebar janji pada saat kampanye demi meraih kekuasaan bukan demi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Bahkan, setiap kali terbukti, janji-janji mereka tidak pernah ditepati!
Ketegaan para koruptor meraup uang negara, yang juga uang rakyat, merupakan indikasi mereka lebih kotor dibandingkan cara Machiavelli, lebih tidak berperikemanusiaan, tidak adil dan tidak beradab terhadap rakyat.

Melembaga
Praktik korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga sulit dibersihkan. Ketika korupsi sudah menyusup ke lembaga peradilan, melalui jual beli perkara, kian hebatlah virus korupsi.
Pelaku korupsi selalu bertemali, bergandeng tangan, dan tidak sendirian. Ini kian menegaskan, korupsi bukan saja menggurita, tetapi kian menjadi sistem yang melembaga.
Kita ingat, korupsi menjadi sistem yang melembaga pada masa Soeharto masih hidup. Selalu tampak adegan menarik. Di saat ia hendak diadili karena kasus korupsi, proses peradilan selalu gagal dengan dalih Soeharto sakit. Di lain pihak, di saat ada acara ”keluarga Cendana”, mantan orang nomor satu itu tampak sehat dan ceria.
Dalam wajah yang sama, para koruptor di negeri ini menampilkan diri. Bahkan, karena korupsi sudah kian menjadi sistem yang melembaga, para koruptor bahkan bertingkah seperti artis-selebritis di depan layar kaca. Tidak ada rasa malu, berdosa, apalagi jera!
Menghadapi sikap tumpul hati dan absennya nurani para koruptor, serta kian merajelalanya perilaku koruptif di negeri ini, tidak ada jalan lain kecuali rakyat harus menyatakan perang terhadap korup(si)tor! Inilah era rakyat menyatakan perang terhadap korupsi dan koruptor!
Langkah paling efektif mewujudkan sikap perang melawan korup(si)tor adalah melalui kewaspadaan politik. Jangan lagi rakyat tergiur janji politisi yang jelas-jelas sudah menipu rakyat! Jangan lagi rakyat memilih mereka yang jelas-jelas korup!
Sambil menunggu para koruptor yang sudah ditangkap mendapat proses pengadilan serta hukuman sepantasnya, rakyat bisa menyatakan perang melawan korup(si)tor melalui mekanisme Pemilu 2009 mendatang!

Aloys Budi Purnomo
Rohaniwan, Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan;
Ketua Komisi HAK, Keuskupan Agung Semarang