Rabu, 12 November 2008

Kejahatan Kerah Putih

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 13 November 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/00451886/kejahatan.kerah.putih


Oleh
Dony Kleden

Munculnya kejahatan dalam banyak wajah menampilkan berbagai opera politik yang tidak hanya mendera kebersamaan, tetapi juga pada dirinya menihilkan tanggung jawab moral pribadi.

Berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan para petinggi bangsa sebenarnya menggambarkan kualitas peta perpolitikan kita yang terus berada di titik nadir. Kita mungkin merasa putus asa dengan aneka masalah di sekitar kita. Sayang, semua masalah itu diperparah dengan berbagai mafia di berbagai instansi pemerintahan yang notabene adalah pion- pion penggerak kesejahteraan rakyat.

Kejahatan kerah putih

Kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.

Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan kerah putih sungguh memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak melek politik akhirnya pasrah, tetapi kepasrahan ini justru kian membuat para pejabat menggagahinya.

White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan kualitas dan kuantitas rendah. Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di instansi pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.

Rapuhnya hukum

Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.

Kejahatan kerah putih yang endemik dan sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Tidak terlalu salah jika kita mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan mudah diperjualbelikan dengan harga kompromi. Rakyat tetap terpuruk dalam kawah krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih berjalan sendiri dan menetapkan kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.

Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada empati politik dari para politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut dan hatinya yang kotor. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu memberantas para bandit yang kini masuk sistem politik, ekonomi, dan hukum, bahkan meluas ke semua bidang kehidupan?

Kita tentu akan lari ke peran hukum. Apakah hukum mampu ditegakkan? Negara yang demokratis harus ditopang oleh hukum yang adil. Hukum yang adil adalah penjamin hak-hak demokratis seluas-luasnya. Sejatinya, demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama politik secara konstitusional.

Demokrasi tidak hanya terletak pada kehendak umum, tetapi juga sebuah strategi dalam kerja sama politik (Michel Foucault, 1979). Sejatinya politik oleh Foucault dilihat sebagai cara ampuh untuk saling memeriksa dan menyeimbang sehingga tidak ada dominasi yang melahirkan kejahatan kerah putih. Semoga.

Dony Kleden Rohaniwan; Pemerhati Masalah Politik

[ Kembali ]

Sabtu, 23 Agustus 2008

Rasa Malu dan Jera untuk Korupsi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 22 Agustus 2008

Oleh
ROMLI ATMASASMITA

Ada pertanyaan menarik: apa hubungan antara rasa malu dan jera dengan semangat dan komitmen antikorupsi di kalangan khalayak, termasuk aparatur dan petinggi hukum di Indonesia?

Pertanyaan itu diakui masuk akal karena sebagian orang, apalagi penegak hukum, sudah terbiasa dengan pemikiran berkonstruksi normatif dan sering dilupakan bahwa hukum selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Begitu pula perkembangan kejahatan, termasuk korupsi. Van Savigny berpendapat bahwa hukum adalah pencerminan dari jiwa bangsa. Oleh karena itu, perkembangan hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan kejahatan yang selalu paralel dengan perkembangan masyarakat tempat kejahatan itu tumbuh dan berkembang.

Dalam konteks ini, membangun rasa malu dan jera terhadap perilaku korupsi hanya dapat dicerna dengan jernih jika kita berada dalam satu lingkungan komunitas yang memiliki semangat dan komitmen antikorupsi, bukan pada lingkungan yang sebaliknya. Sangat naif jika masih ada pendapat yang mempersoalkan kedua rasa itu, bahkan menegasikannya, dengan lebih mengedepankan pendekatan legalistik-normatif dan tertutup terhadap situasi dan kondisi korupsi yang semakin sistemik dan meluas. Untuk tujuan pemberantasan korupsi itulah Gerakan Reformasi tahun 1998 dikobarkan yang intinya memberantas KKN.

Di dalam empat kali perubahan UU Antikorupsi, Inpres 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta di dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004- 2009, membangun rasa malu dan jera tak tersentuh sama sekali, bahkan tak terpikirkan sama sekali.

Masih terbelah

Penegakan hukum terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukkan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi, termasuk kinerja lembaga penegak hukum. Dalam konteks APBN, secara finansial terbukti lebih besar pasak daripada tiang: penyelamatan kerugian keuangan negara karena korupsi lebih kecil dibandingkan dengan uang negara yang tak terselamatkan dan dilarikan ke luar negeri (kasus BLBI, kasus Migas, dan kasus pembalakan liar).

Sikap lembaga penegak hukum masih terbelah dalam fragmentarisme dan egoisme serta arogansi sektoral sehingga menghambat efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, terutama yang melibatkan aparatur penegak hukum serta anggota badan legislatif dan yudikatif. Peran komisi-komisi pengawas lembaga penegak hukum belum optimal dilaksanakan berkaitan dengan keterbatasan wewenang berdasarkan UU yang ada.

Membangun masyarakat sadar hukum sejak tahun 1970-an telah dicederai dengan keterlibatan aktif petinggi hukum dan aparatur penegak hukum dalam perilaku koruptif. Perbuatan itu menurunkan secara drastis tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Ada fenomena unik dan patut diamati secara serius, yaitu pertama, semakin intensif gerakan memberantas korupsi semakin tinggi resistensi terhadap langkah penegakan hukum yang dilaksanakan.

Semakin meluas kesadaran masyarakat untuk memberantas korupsi dan mendorong akuntabilitas serta transparansi dan integritas pejabat publik, semakin inklusif dengan bingkai normatif sikap pejabat publik terhadap kontrol masyarakat tersebut. Semakin meningkat KPK dan Kejaksaan Agung menangani perkara korupsi semakin permisif masyarakat serta sebagian birokrasi dan penegak hukum terhadap perilaku koruptif di dalam lingkungannya; bahkan semakin protektif terhadap kawan seiring yang koruptif dengan berbagai alasan normatif.

Semakin meninggi aspirasi keadilan sosial terhadap adanya kesenjangan dan diskriminasi perlakuan hukum terhadap para koruptor dibandingkan dengan tersangka/terdakwa miskin, semakin tuli dan buta tampaknya terhadap realitas sosial yang hadir di sekelilingnya. Berbagai bantuan teknis negara donor dalam miliaran dollar AS telah dikucurkan untuk pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, tetapi hasilnya mengejutkan bak kuali terbalik!

Kata kunci dari semua persoalan ini bukan pada UU, bukan pada semangat, komitmen, dan sikap; melainkan pada budaya malu yang hanya dapat dibangun dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Budaya malu tak dapat dibentuk dengan UU, melainkan dengan panutan yang konkret dari kepala keluarga, atasan, dan pemimpin pada tiga pilar kekuasaan di negeri ini.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

[ Kembali ]


Tak Ada Toleransi untuk Korupsi

Ada 18 Modus Penyalahgunaan Anggaran di Daerah
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara MPR/DPR, Jumat (22/8).

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan tidak ada toleransi bagi kejahatan korupsi di pusat maupun daerah. Meningkatnya transfer anggaran dari pusat ke daerah jangan sampai meningkatkan penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi.

Penegasan itu disampaikan Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jumat (22/8). Presiden didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hadir juga Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. ”APBN dan APBD adalah uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat,” ujar Presiden.

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-Perubahan 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan, pada tahun anggaran 2009, transfer dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.

”Pepatah mengatakan, ’Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’. Marilah kita mengemban amanah dan tanggung jawab dengan baik sehingga meninggalkan nama yang baik pula. Nama yang akan dikenang rakyat, jauh setelah kita meninggalkan jabatan yang kita emban,” ujar Yudhoyono.

ICW tunggu bukti

Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mendukung sikap Presiden Yudhoyono.

”Presiden memang tidak bisa lagi memberikan toleransi apa pun terhadap praktik korupsi dan kepada para koruptor yang telah merugikan negara. Yang ditunggu oleh rakyat sekarang adalah tindakan nyata dan dukungan konkret Presiden yang tak akan menoleransi tindakan korupsi yang dilakukan siapa pun. Apakah itu kelompoknya, keluarga, para menteri, atau teman sejawatnya,” ujar Teten.

Menurut dia, sejauh ini sudah ada tiga menteri yang sudah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. ”Tetapi, mereka belum diganti. Karena itu, pemerintah bisa dinyatakan belum free and clean. Tudingan korupsi masih menyelimuti kabinet,” katanya.

Presiden juga harus memberikan dukungan politik kepada KPK yang tengah mengusut tuntas kasus aliran dana BI dan kasus-kasus lainnya. ”Dukungan Presiden untuk membersihkan ’halaman rumahnya’ sendiri di Istana juga harus dilakukan secara efektif sehingga bukti pernyataan tidak adanya toleransi bagi tindakan korupsi bisa terwujud,” kata Teten.

Peringatan KPK

Ketua KPK Antasari Azhar, kemarin, mengajak semua gubernur, bupati, serta wali kota untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan menggunakannya secara transparan.

Antasari mengingatkan beberapa modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah. Salah satunya adalah membuat berita acara fiktif pada akhir tahun agar bisa mendapatkan anggaran. Proyeknya sesungguhnya belum berjalan, tetapi agar uang bisa masuk, ditulis seakan-akan sudah selesai. Selanjutnya, begitu uang masuk, uang itu tidak dialokasikan sebagaimana mestinya tetapi dibagi-bagi. ”Ini persoalan yang harus kita selesaikan,” ujarnya.

Dalam bahan yang dibagikan secara tertulis kepada semua peserta, KPK bahkan membeberkan 18 modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah (lihat tabel).

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution juga mendorong semua pemerintah daerah agar berani membuang kebiasaan lama pada era Orde Baru, seperti memberi macam- macam kepada setiap pejabat pusat yang datang ke daerah. ”Harus berani bilang, ’No’,” kata Anwar.

Dia juga meminta pemerintah daerah segera mewujudkan sistem pembukuan negara yang terpadu. Hanya dengan demikian pemerintah dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuiditasnya setiap saat.

Pemerintah daerah juga harus meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya dengan, antara lain, memperbaiki sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset dan utang, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan, serta tanggung jawab anggaran.

Rapat harus transparan

Rapat pembahasan APBN di DPR dinilai sebagai titik rawan yang membuka peluang terjadinya praktik korupsi menjelang Pemilu 2009. Pembahasan APBN secara tertutup dikhawatirkan hanya akan menguntungkan elite politik DPR dan pemerintah.

”DPR masih setengah hati membuka pembahasan anggaran. DPR cenderung melaksanakan rapat anggaran secara tertutup. KPK seharusnya bisa mengetahui mekanisme penyusunan anggaran secara tertutup ini,” kata Yuna Farhan dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) saat jumpa pers Koalisi untuk APBN 2009, Jumat.

Koalisi untuk APBN 2009 ini terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, Seknas Fitra, Sanggar Bandung, PP Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Pusat Telaah Informasi Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat, Pattiro Jakarta, Civic for Budgeting Advocacy, Seknas Jaringan Transparansi dan Akuntabilitas untuk Pembangunan (Seknas Jari Indonesia), dan Gerakan Antikemiskinan Rakyat Indonesia (Gapri).

Menurut Yuna, pembahasan APBN rawan kebocoran, menyusul langkah para elite untuk mengongkosi politik mereka menjelang Pemilu 2009.

Masih terkait pidato Presiden, Abdul Gafur dari Gapri menyangsikan data turunnya angka kemiskinan yang disampaikan Yudhoyono. ”Kalau memang orang miskin turun, Presiden Yudhoyono harus menunjukkan di mana saja lokasi orang miskin itu turun. Sebab, secara kasatmata, orang turun ke jalan semakin banyak,” kata Gafur.

Ia menilai program pembangunan pemerintah sering kali tak tepat sasaran. (HAR/VIN/SUT)

[ Kembali ]

Selasa, 12 Agustus 2008

Tak Gentar dengan Penjara

Oleh Hasrul Halili
Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 12 Agustus 2008

Berita Komite Penyelidik dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah, yang menyerukan agar Presiden tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus (Kompas, 4/8/2008), menarik disimak.

Sekretaris KP2KKN secara lugas menyatakan, jika Presiden memberi remisi kepada para koruptor karena kelakuan baik selama di penjara, hal itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Korupsi yang notabene dikeluarkan Presiden.

Meski wacana yang dikembangkan KP2KKN adalah soal remisi, jika dibaca dari perspektif lebih luas, seruan itu bisa ditempatkan sebagai kritik terhadap efektivitas pidana penjara di Indonesia, sebagai salah satu bentuk pemidanaan yang diyakini bisa mewujudkan fungsi hukum pidana, terkait efek jera (deterrent effect), bagi terpidana korupsi.

Lima fungsi hukum

Mengutip Wayne R La Fave dalam Modern Criminal Law (Siswanto, 2005), ada lima fungsi hukum pidana.

Pertama, retribution. Pemidanaan digunakan sebagai balasan dan pemberian penderitaan setimpal terhadap pelaku pidana berdasarkan prinsip an eye for an eye.

Kedua, detterence. Timbulnya rasa jera.

Ketiga, denunciation. Penegasan bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang adalah salah.

Keempat, incapatitation. Menjaga (melalui penahanan) agar pelaku tidak mampu lagi melaku-kan tindak pidana.

Kelima, rehabilitation. Perbaikan pelaku tindak pidana.

Tersirat dari seruan KP2KKN keraguan terhadap efektivitas pidana penjara dalam menimbulkan efek jera saat penjara menjadi bagian mata rantai peradilan yang sarat korupsi. Remisi hanya satu titik rentan praktik koruptif dari beberapa titik rawan lain di penjara, seperti pemberian fasilitas tertentu, dan perlakuan istimewa.

Berbagai laporan pemantauan peradilan yang dilakukan aktivis pemantau peradilan, misalnya, mengidentifikasi, remisi telah dimanipulasi menjadi ”barang yang diperjualbelikan bebas” kepada terpidana koruptor yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (LP).

Contoh, tahun 2006, Tommy Soeharto mendapat ”kucuran remisi beruntun”. Tommy merupa-kan terpidana kasus pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata gelap. Banyak pihak mempersoalkan transparansi dan akuntabilitas pemberian remisi kepada Tommy yang belakangan, pada kasus korupsi, dirinya diputus bebas murni oleh pengadilan.

Tak gentar

Melihat kondisi LP yang telah korup, wajar jika ada yang meragukan efektivitas fungsi pemidanaan dalam bentuk pidana penjara. Alih-alih terjadi efek jera, kehadiran para koruptor justru menyuburkan praktik koruptif di penjara. Koruptor yang seharusnya datang ke penjara sebagai pesakitan, justru menjadi powerfull. Ia bisa mengatur dan mengondisikan apa pun di penjara sesuai kehendaknya.

Pada situasi penuh praktik koruptif, seperti di LP Indonesia, penjara tidak lagi menjadi bui menakutkan bagi koruptor. Koruptor tak gentar lagi dengan penjara. Jangan-jangan hal ini bisa menjadi penjelasan, mengapa banyak orang tidak takut dipenjara dan tetap bermain-main dengan korupsi. Keangkeran penjara tidak lagi menakutkan. Bahkan, mungkin mereka berpikir jika kelak menjadi terpidana, penjara dan semua perangkat aparat dengan mudah bisa ”dibeli” dengan hasil korupsi.

Dalam konteks inilah menjadi relevan kritik terhadap efektivitas pidana penjara (plus pidana denda) terhadap koruptor sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001. Dengan mengemukakan, alternatif hukuman lain diasumsikan bisa menimbulkan efek jera dan rasa ngeri terhadap siapa pun yang ingin bermain api dengan korupsi, seperti wacana hukuman mati yang mengemuka akhir-akhir ini. Introduksi tentang wacana hukuman mati sendiri memancing perdebatan alot.

Setidaknya aktivis HAM antihukuman mati akan kembali mengargumentasikan berbagai keberatannya, baik dari sudut filsafat moral, konstitusionalitas, maupun penerapannya dalam hukum pidana. Titik krusial yang akan dikemukakan adalah apakah tidak terlalu riskan menerapkan hukuman mati dalam perkara korupsi di tengah proses peradilan yang rentan terkontaminasi praktik judicial corruption. Belum lagi cara kerja aparat penegak hukum yang tidak profesional dan penegakan hukum yang diskriminatif karena lebih dilatarbelakangi ”motif politis” daripada motif penegakan hukum murni.

Fungsi pemidanaan

Intensi tulisan ini hanya ingin menegaskan kembali pentingnya mengembalikan fungsi pemidanaan penjara dalam menimbulkan efek jera terhadap para koruptor dengan mengondisikan kembali LP agar benar-benar menjadi kawah untuk membuat koruptor kapok. Dan, itu rasanya tidak akan terjadi pada kondisi LP mudah dikendalikan terpidana korupsi.

Meminjam logika berpikir Wesley Cragg (1992) dalam The Practice of Punishment: Towards a Theory of Restorative Justice, penegakan hukum mestinya berkaitan erat dengan gagasan penerapan hukuman. Itu berarti, bicara spektrum penegakan hukum korupsi, di dalamnya juga harus diperhatikan perbaikan sistem di LP sehingga gagasan bahwa bentuk hukuman penjara merupakan instrumen penjeraan bagi koruptor masih menemukan signifikansinya. Jika tidak demikian, para koruptor pasti tak gentar dengan penjara.

Hasrul Halili Direktur Eksekutif Pusat Kaijan Antikorupsi (Pukat); Dosen Fakultas Hukum UGM

[Kembali]


Kamis, 07 Agustus 2008

Ketua BPK Kecewa Fokus Pengungkapan Kasus BI

Ada Kejahatan Besar yang Belum Diungkap KPK
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution mengaku kecewa dengan langkah penegakan hukum atas kasus aliran dana Bank Indonesia.
Penegak hukum hanya memfokuskan pada kasus suap-menyuap aliran dana BI dari pejabat BI kepada sejumlah anggota DPR. Padahal, ada kejahatan besar lainnya, di antaranya kasus manipulasi pembukuan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan neraca BI, ketentuan BI mengenai Informasi tentang Nasabah (Know Your Customer), ketentuan mengenai pencucian uang (money laundering), dan pelanggaran Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Demikian disampaikan Anwar saat dihubungi Kompas seusai bertemu dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di ruang kerja Wapres, Jakarta, Kamis (7/8). Pertemuan dengan Wapres Kalla dilakukan tertutup sehingga tidak dipublikasikan kepada pers. Anwar pun mengaku pertemuannya dengan Wapres hanya membahas masalah audit tsunami yang menjadi perhatian lembaga audit negara-negara donor.
”Pengadilan yang berjalan sekarang nuansanya hanya fokus kepada kasus suap-menyuap. Padahal, ada kejahatan besar yang belum diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu kasus manipulasi pembukuan YPPI dan BI, pencucian uang, pelanggaran UU Yayasan dan ketentuan Know Your Customer BI,” ujar Anwar.
Menurut Anwar, laporan BPK kepada KPK sebenarnya sudah mengungkapkan empat kejahatan besar yang seharusnya bisa diungkap KPK. ”Jadi, bukan sekadar kasus suap-menyuap saja. Tetapi, BPK kan hanya mengungkapkan saja berdasarkan audit. Tindak lanjut penyidikan dan lainnya, bukan BPK yang melakukannya,” ujar Anwar.
Dalam laporan BPK kepada KPK, akhir 2006, disebutkan adanya penggunaan dana YPPI senilai Rp 68,5 miliar untuk pemberian bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi gubernur BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kredit ekspor, dan kasus lain. Penggunaan dana itu berindikasikan menimbulkan sangkaan korupsi dan penyuapan karena YPPI dibentuk untuk bidang pendidikan.
YPPI diputuskan mengeluarkan dana Rp 100 miliar. Sebesar Rp 68,5 miliar digunakan untuk pemberian bantuan hukum dan Rp 31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR Bidang Perbankan periode tahun 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Dana itu dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

Paskah bantah isi kesaksian
Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan, semua informasi tentang dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus aliran dana BI ke anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang muncul di pengadilan adalah tidak benar. Namun, dia menyerahkan penilaian akhir kepada majelis hakim.
”Kalau yang berkembang di Pengadilan (Khusus Tindak Pidana Korupsi) itu semua tidak benar. Iya (yang dinyatakan) di bawah sumpah juga. Namun, kalau kata-katanya, kan bukan dari saya,” kata Paskah di kantor KPK, Jakarta, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan ketika Paskah ditanya tentang isi kesaksian mantan Kepala Biro Humas BI Rizal Anwar Djafaara dan Kepala Perwakilan BI di New York Lucky Fathul Aziz Hadibrata di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu lalu.
Dalam kesaksiannya, Rizal menyatakan, anggota DPR, Hamka Yandhu, yang sudah menjadi tersangka dalam perkara ini, pernah mengatakan kepadanya bahwa Paskah ingin bertemu dengan Gubernur BI (saat itu) Burhanuddin Abdullah.
(har/nwo)

[Kembali]

Inilah Zaman Bandit Berkeliaran

Oleh I Wibowo
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 6 Agustus 2008.

Sebanyak 52 anggota DPR terlibat suap. Begitu berita harian ini delapan hari lalu. Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan.
Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan atas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, reformasi mestinya berjalan mulus?
Keganjilan ini dapat diterangkan secara sederhana dengan mengikuti karya Mancur Olson, Power and Prosperity (2000). Olson juga bertanya tentang reformasi, tetapi reformasi di Rusia: mengapa setelah rezim represif runtuh, bukan kesejahteraan yang muncul, melainkan kelompok jaharu? The lifting of the iron curtain revealed something else that the developed nations of the West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect to see: an extraordinary amount of official corruption and Mafia-style crime? Sama seperti kita di Indonesia, reformasi di Rusia juga dijalankan dengan memakai program demokratisasi dan pasar bebas.

Dua macam bandit
Olson menerangkan keanehan ini dengan model bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa rezim represif, seorang bandit berkuasa, tetapi dia bandit menetap. Artinya, dia tak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.
Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjarah habis wilayah, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.
Ketika Indonesia di bawah Soeharto, ”orang kuat” ini menguasai seluruh Indonesia dan rakyatnya. Kekuatan Soeharto berhasil membuat semua orang bergantung kepadanya. Sementara itu, orang-orang di sekitar Soeharto merasa senang dan nyaman. Tak hanya mendapat perlindungan, juga sedikit kekayaan. Memang Soeharto terkenal membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau mengabdinya. Hal ini berlaku bagi pegawai negeri, pengusaha swasta, dan militer.
Maka, penguasa tunggal itu berstatus bandit menetap dan menimbulkan stabilitas yang lumayan sehingga Indonesia dipuji Bank Dunia akan menjadi ”macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya, ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi. Namun, ini merupakan kelihaian Soeharto. Sebagai bandit menetap, ia tak menguras habis kekayaan Indonesia, juga tak mengembangkannya. Ia membiarkan Indonesia pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduk untuk berusaha dan cukup untuk dikuras. Indonesia memang maju, tetapi tak akan pernah maju sampai ke titik maksimal.

Zaman bandit berkeliaran
Menurut Olson, begitu bandit menetap runtuh, muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang ”bos”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apa pun. Tak ada yang ditakuti. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras yang siap menjalankan aksinya.
Situasi ini persis sama dengan di Rusia sebagaimana dianalisis Olson. Ketika bandit menetap (Partai Komunis) disingkirkan, muncullah bandit berkeliaran yang menguasai daerah-daerah maupun wilayah kekuasaan lain. Mereka nyaris mengabaikan kendali oleh pusat, bergerak sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Di Indonesia datangnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Sistem yang lebih tepat diberi nama ”demokrasi prosedural” ini pada dasarnya membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kekuasaan otoriter Soeharto sekaligus menciptakan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia. Aktor-aktor ini—entah tergabung dengan parpol entah tidak—belajar bagaimana memanipulasi pemilu/ pilkada menjadi kepala eksekutif atau anggota legislatif.
Sistem demokrasi sebenarnya adalah sistem yang tak stabil. Semua politikus—di tingkat nasional, lebih-lebih di tingkat daerah—sadar, kesempatan terus duduk di kursinya hanya sekali itu saja karena sistem demokrasi menuntut rotasi pemimpin. Daripada memanfaatkan masa baktinya secara optimal, mereka malah mendapat insentif menjalankan penjarahan dan menguras habis. Mumpung berkuasa, mereka memanfaatkannya sebaik mungkin.
Khusus tentang anggota DPR/ DPRD. Yang membuat mereka makin kalap dan tak terkendali adalah sistem pemilihan anggota legislatif yang tak menganut sistem distrik: nasib mereka bergantung pada pemimpin umum partai, bukan rakyat tempat pemilihan mereka. Sebagai pion partai, mereka menyetor hasil kepada partai. Dalam sistem ini, oknum memang penting, tetapi partai lebih penting. Hasil sogok- menyogok ini hanya sebagian masuk kantong sendiri. Selebihnya untuk setoran partai.
Begitulah para bandit berkeliaran menerjang memasuki wilayah-wilayah Indonesia, menguras kekayaan di situ, lalu pergi. Sementara itu, bandit berkeliaran lain telah menunggu!
I Wibowo
Koordinator ”Dijkstra Society” Jakarta

[Kembali]

Poly-Tikus Harus Dibasmi

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Senin, 21 Jul 2008 by Budi Winarno


Negeri ini membutuhkn politisi yang penuh pengabdian kepada Tanah Air. Pengabdian itu bermaka mengutamakaan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebaliknya, bangsa ini tidak membutuhkan politisi yang kerjanya hanya menggerogoti uang negara. Politisi yang menggerogoti kewenangan yang dimiliki, menggerogoti hak rakyat demi perut kekuasaannya."Kita tidak butuh politisi berjiwa tikus yang suka menggerogti segala macam barang, atau mereka yang sebenarnya tikus namun berkedok politisi. Negeri ini butuh politisi sejati, bukan poyi-tikus, yang artinya banyak tikus atau sekumpulan tikus".Hal ini dikatakan Staf Khusus Presiden Ssusilo Bambang Yudhoyono Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, Heru Lelono, pada peluncuran buku karyanya berjudul Polytikus Harus Dibasmi, Satu Dasawarsa Refleksi Perjalanan Bangsa, di Jakarta, Sabtu (19/7)Menurut Heru, politisi berjiwa tikus yang tersebar mulai dari pemerintah pusat, DPR, hingga pemerintah daerah dan DPRD harus dibasmi. Jika tidak, maka politisi tersebut akan menggerogoti keuangan negara hingga bangkrut. Menurut Heru, virus korupsi dapat berupa korupsi uang, hingga virus yang paling berbahaya yakni korupsi kekuasaan. Virus korupsi kekuasaan dikatakan sangat berbahaya karena dapat menyebar dan menjangkiti para pemegang kekuasaan. Ciri penyakit korupsi kekuasaan ini, kata Heru, berupa penyalahgunaan wewenang. "Sangat menular karena mustahil sebuah penyalahgunaan wewenang dapat berhasil bila dilakukan seorang diri saja," katanya.Penyalahgunaan wewenang itu misalnya tampak dalam bentuk pembuatan undang-undang (UU) seperti terjadi akhir-akhir ini. Contoh yang paling nyata untuk hal ini adalah tertangkapnya sejumlah anggota DPR saat menerima suap atas pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Heru, korupsi telah menjadi penyakit akut dan menular di tanah air selama bertahun-tahun merdeka. Karena itu, kebijakan pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas pemerintahan SBY, dinilainya sangat mendasar dan tepat. Korupsi yang marak akhir-akhir ini, kata Heru, selain karena ketamakan para pelaku, juga mengindikasikan hilangnya etika berpolitik para politisi.
Pengusaha sekaligus teman dekat Heru, Peter F. Gontha mengatakan, kekuasaan adalah awal dari segala bentuk korupsi. Peter mengapresiasi pencapaian selama masa reformasi, khususnya masa pemerintahan SBY. "Sepuluh tahun pencapaian selama masa reformasi sudah luar biasa. Tapi kita harus sabar," katanya.
Kesabaran itu sangat dibutuhkan agar kita tidak mencari jalan pintas dan melabrak tatanan yang sudah dibangun dengan susah payah. Salah satu bentuk ketidaksabaran itu misalnya, muncul dalam sikap beberapa kalangan yang meragukan keandalan demokrasi."Kini, terjadi tarik ulur terhadap demokrasi. Ada yang ingin menegakannya tapi ada yang ragu dan hendak meninggalkannya," katanya.Buku setebal 215 halaman itu adalah kumpulan pemikiran reflektif penulis selama 10 tahun terakhir yang telah diterbitkan beberapa media. Buku ini, kata Heru, bukan sebuah garis politik, tapi ungkapan hasil sementara proses belajar dalam usaha memahami kehidupan bernegara.Presiden SBY pada halaman akhir buku itu mengatakan, Heru Lelono adalah figur yang patut diteladani karena ia berbicara apa adanya. "Terbuka, mendasar dan dari hatinya. Untuk membangun demokrasi berakhlak di negeri ini, kita perlukan tokoh dan pelaku politik seperti ini," kata SBY.

Very Herdiman

[Kembali]

Mafia Legislatif

Oleh Eddy O.S Hiariej
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 07 Agt 2008


Headline beberapa media cetak, 29 Juli 2008 yang memberitakan 52 anggota yang menerima aliran dana dari Bank Indonesia terkait diseminasi Undang-Undang Bank Indonesia cukup mencengangkan publik. Betapa tidak, para anggota DPR yang mulia adalah representasi rakyat yang seyogyanya memiliki integritas moral yang baik dalam mengemban amanat dan kepercayaan rakyat, namun kenyataanya melakukan praktek korupsi sebagai perbuatan tercela. Fakta tersebut meyakinkan publik bahwa praktek korupsi tidak hanya dalam pelaksanaan undang-undang tetapi sudah dimulai dari pembuatan undang-undang.
Pada saat yang sama, beberapa mantan petinggi Bank Indonesia, sedang berada di kursi pesakitan sebagai terdakwa dengan dua dakwaan : Pertama, Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan yang kedua terkait diseminasi undang-undang Bank Indonesia. Artinya, active bribery dalam kasus tersebut sedang diadili, sedangkan pasive bribery dalam kasus yang sama masih belum tersentuh oleh hukum. Bahkan, beberapa orang diantara mereka yang telah menerima suap buru-buru mengembalikan uang setelah kasus ini terbongkar. Padahal, pengembalian uang tidaklah menghapus tuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kata, kalimat, bahkan koma dan titik dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR mempunyai nilai rupiah. Dengan kata lain, pasal-pasal yang dirumuskan dalam suatu undang-undang adalah berdasarkan pesanan pemilik modal sehingga suap-menyuap dalam proses pembahasan suatu rancangan undang-undang niscaya selalu terjadi. Dalam bahasa yang lebih halus biasanya suap-menyuap dalam pembahasan undang-undang di DPR dikenal dengan istilah 'biaya loby' atau 'biaya diseminasi'.
Korupsi Politik
Dalam konteks kriminologi, apa yang terjadi selama ini dalam proses pembahasan suatu undang-undang dikenal dengan istilah political bribery. Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Criminolgy, second edition,1995, mendefinisikan political bribery sebagai kegiatan dewan legislatif untuk membentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kelompok kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut dapat meliputi kepentingan ideologi, kepentingan partai atau kepentingan golongan tertentu, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Harapannya, anggota dewan dapat membuat aturan yang menguntungkan kelompok kepentingan tersebut.
Selain itu, masih menurut Beirne dan Messerschmidt, masih ada tipe korupsi yang lain yaitu political kickbacks, election fraud dan corrupt campaign practices. Political kickbacks mempunyai cakupan yang lebih luas yang bisa berkaitan dengan kegiatan legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Political kickbacks dalam kaitannya dengan kegiatan legislatif pada dasarnya sama dengan political bribery. Hanya saja rumusan undang-undang yang diinginkan adalah untuk melindungi kepentingan pengusaha. Di bidang eksekutif biasanya kickbacks dalam bentuk gratifikasi. Demikian pula di bidang yudikatif biasanya untuk memenangkan sebuah perkara atau membebaskan terdakwa dari sebuah kasus pidana.
Sedangkan election fraud yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan pada saat pemilihan umum seperti pemalsuan adaministrasi calon anggota legislatif, kecurangan pada saat perhitungan suara, memberikan sesuatu untuk mempengaruhi melaksanakan hak pilih yang semuanya itu berkaitan dengan uang dan atau sesuatu imbalan termasuk didalamnya menjanjiakan atau mengiming-imingi sesuatu. Sementara corrupt campaign practices adalah praktek-praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara. Dalam tipe yang keempat ini biasanya berkaitan langsung dengan calon anggota legislatif agar dapat terpilih melalui daerah pemilihannya.
Kembali kepada political bribery di Dewan, kejahatan kolektif seperti ini biasanya merupakan kejahatan terorganisasi ala kerja mavia di Itali, Yakuza di Jepang dan Triad di China. Kejahatan tersebut terbungkus rapi karena kewenangan yang melekat pada mereka dalam membentuk undang-undang dan tanpa keseriusan untuk memberantasnya, niscaya kejahatan tersebut tidak akan pernah terbongkar. Dalam konteks yang demikian, substansi undang-undang tidak lagi mencerminkan kebutuhan masyarakat tetapi lebih pada hasil kejahatan.
Dalam kaitannya dengan aliran dana Bank Indonesia yang menimpa sejumlah Anggota dan mantan Anggota DPR, ada beberapa catatan penulis :
Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani membawa semua pelaku ke pengadilan terkait aliran dana Bank Indonesia. Keterangan saksi yang menyebutkan nama 52 Anggota DPR yang telah menerima aliran dana tersebut diucapkan dibawah sumpah dan di depan sidang pengadilan. Artinya, keterangan saksi tersebut adalah alat bukti yang sah untuk memproses mereka yang menerima suap.
Kedua, terkait dengan yang pertama, pengadilan terhadap para penerima suap adalah untuk mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan, karena beberapa top level di Bank Indonesia sedang diproses secara hukum. Dalam penyuapan, baik pemberi suap, maupun penerima suap adalah pelaku kejahatan.
Ketiga, mereka penerima suap yang sedang menjabat sebagai anggota DPR maupun pejabat tinggi negara lainnya, Dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, seyogyanya mengundurkan diri dari jabatan guna mempermudah proses hukum dan demi menjaga nama baik serta kredebilitas Dewan dan Pemerintah.
Keempat, atau yang terakhir, mekanisme hukum ini harus benar-benar ditegakkan sebagai shock therapy untuk memberantas mafia legislatif yang selama ini terjadi.
Eddy O.S Hiariej
Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Korupsi Para Politikus

Oleh Sigit Pamungkas
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008 halaman 06.

Korupsi yang terjadi di berbagai institusi publik hampir selalu melibatkan para politikus. Kategori korupsinya termasuk skala besar.
Sedikit sekali korupsi berskala besar tanpa menyertakan politisi. Terkuaknya anggota Komisi IX DPR yang menerima dana Bank Indonesia sebesar Rp 21,6 miliar membuktikannya.
Selain itu, terkuaknya berbagai kasus korupsi juga menyiratkan, korupsi bukan sebuah patologi dari bekerjanya sistem politik normal. Korupsi sepertinya bukan penyakit yang harus dilawan, dilumpuhkan, atau dimatikan keberadaannya. Korupsi justru terlihat sebagai metode bekerja dari sistem politik (Lay, 2006).
Sebagai metode, korupsi adalah normalitas, aturan, dan tata kerja bagi politisi dan pejabat birokrasi. Sementara itu, mekanisme yang bersih justru dilihat sebagai abnormalitas.
Pada perspektif ini, semua proses politik dalam menjalankan pemerintahan akan berujung pada kegagalan jika tidak dilakukan dengan korupsi. Alih fungsi hutan, revisi undang-undang, dan pengadaan peralatan akan gagal bila tidak disertai korupsi. Korupsi harus dilakukan jika pemerintahan tidak ingin jalan buntu.

Struktur pemaksa
Analisis bahwa lemahnya moralitas menjadi penyebab korupsi tidaklah tepat. Sebab, korupsi juga melibatkan politisi dengan partai berbasis agama yang dipersepsikan memiliki kualitas moral lebih baik.
Penjelasan budaya sebagai penyebab korupsi juga tidak relevan karena penyelesaian korupsi akan berputar-putar tidak pernah selesai. Budaya tidak statis, senantiasa bermetamorfosis. Suatu saat sebuah budaya memfasilitasi terjadinya korupsi, pada saat lain dapat mendorong terjadinya sikap antikorupsi.
Sebenarnya korupsi para politikus bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007).
Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga.
Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.
Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.
Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya.
Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik akan mati.
Karena itu, selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai.
Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis. Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian.
Dilema solusi
Sayang, pilihan solusi untuk memecahkan kelangkaan keuangan partai agar bertahan tetap terjaga juga terbatas. Iuran anggota sebagai pilar sumber keuangan partai tidak berjalan baik, padahal sumber ini berpotensi mengatasi korupsi sekaligus membangun kemandirian partai.
Selain itu, sumbangan kepada partai juga sulit digunakan sebagai cara mencegah korupsi politisi karena atas nama fairness dan independensi jumlah sumbangan dibatasi. Padahal, asal sumbangan dikelola transparan ketakutan terhadap efek negatif sumbangan berlebihan dapat dicegah. Mengandalkan bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhan partai juga tidak mungkin karena jumlahnya terbatas.
Mengandalkan survavilitas partai berbasis finansial tampaknya perlu digeser, dari berbasis besaran finansial yang diakumulasi dan didistribusikan menjadi ke arah survavilitas berbasis kepercayaan publik. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

Sigit Pamungkas
Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM

Kamis, 31 Juli 2008

Agama Baru Korupsi

Oleh Umbu TW Pariangu
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Bak layang-layang, negeri ini gagal menjangkau tingginya langit biru. Telanjur diremas patologi korupsi yang menjauhkannya dari visi mulia (reformasi). Kehancuran negara akibat KKN pada stadium mengerikan (Bdk Rosse-Ackerman, 1999).
Sejak upaya eliminasi korupsi dari istana, diharapkan ada komitmen dan konsistensi. Ternyata, komitmen pemerintah dilanda sindrom anualitas. Upaya meringkus koruptor surut di bawah rapuhnya hukum. Kasus DKP, BLBI, dan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK yang menerima 660.000 dollar AS dari Artalyta, hingga maraknya suap di DPR, telah menyayat nurani bangsa.
Korupsi, ”agama” baru
Ada beberapa pelajaran dari peristiwa itu. Ternyata negara tidak sesempurna imagine community-nya Ben Anderson dalam mengafirmasi kekuatan tak terjamah yang menyatukan bangsa. Sebaliknya, elite leluasa berkelit, menggunting soliditas bangsa dalam dua antaseden.
Pertama, kentalnya ketamakan dan hedonisme, lekat dengan ketidakpuasan destruktif yang merobek keadilan dan pemerataan.
Kedua, antipati ekstrem terhadap moral selaku pegangan konstruksi politik-hukum. Nyaris tiada institusi ”moral” kebal korupsi. Maka, korupsi menjadi ”agama” baru yang menghimpun seluruh kelaknatan sistem, individu untuk merampok aset, modal negara dan mempreteli ideologi bangsa. Semua dianuti demi keselamatan sendiri.
”Agama” korupsi mengonotasikan sesuatu yang diferen dan terbalik dan negara gagal mengoperasikan kebajikan umum. Ketika Komisi Antikorupsi (KPK) dibentuk tahun 1970, Mohammad Hatta (dikutip dari Smith 1971 : 21) menyitir: perilaku korupsi semacam ”seni hidup”, bahkan ”budaya” baru. Dalam perspektif perubahan perilaku- nya Schwitzgebel and Kolb (1974), korupsi yang memasif didorong interaksi sosial warga.
Kode ”etik” lembaga kita lebih mengakomodasi orang kaya— tetapi kotor—dalam jabatan sosial-politis ketimbang orang pintar, miskin, tetapi bersih. Realitasnya, hukum selalu mengalibikan kekuatan negara sebagai pembentuk common good. Selaku panglima pembangunan, hukum dipahami dalam logika piramida terbalik. Bahwa orang—berkepentingan besar—selalu dalam strata teratas, mudah membeli hukum sedangkan kaum grass root diciprati pesimistis.
Pengorbanan
Setelah 10 tahun upaya pemberantasan korupsi, mendung masih bergayut. Kita tak punya reminisensi yang menguatkan faktum, post nubila jubila (setelah mendung ada terang). Berantas korupsi tak cuma proforma ”dari istana”. Politik bukan hanya soal wacana, tetapi juga impetus pengorbanan dan kerja keras terfokus. Istana (Kejagung), yang katanya basis penegakan hukum, ternyata berkhianat.
Pada 16 Agustus 2007, Presiden Yudhoyono mencanangkan reformasi birokrasi dimulai pada institusi pilot project (Depkeu, BPK, dan MA). Padahal, sentrum pencitraan pemerintahan bersih bersumber pada optimalisasi kapasitas pemerintah. Mereformasi birokrasi, misalnya, bukan hanya tugas Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tetapi yang paling substrat sejauh mana kreativitas pemerintah mengambil langkah politis-progresif riil.
Tahun 2005, Thaksin Shinawatra—pengusaha pertelekomunikasian—memelopori pemberantasan KKN dengan memangkas birokrasi. KKN dinilai ikut memicu seretnya kemajuan ekonomi dan investasi negara. Ia pun mereformasi birokrasi layaknya perusahaan. Langkah paling prestisius, mengurangi pegawai lima persen dari 1,7 juta pegawai, (bandingkan di Indonesia sekitar 3,9 juta jiwa pegawai), lalu lima persen dari pegawai yang berkinerja buruk diberi pilihan, pensiun atau ikut pelatihan.
Yang dipensiun dikompensasi setara gaji delapan bulan di luar tunjangan rutin. Yang ikut pelatihan dievaluasi terus selama enam bulan. Jika tidak lulus, diberhentikan. Implikasinya: penciutan pegawai yang diimbangi peningkatan gaji mendorong kinerja. Kompetisi kinerja mendongkrak produktivitas yang diukur transparan. Iklim kerja positif birokrasi pun tumbuh. Alhasil Thaksin berhasil, korupsi dikurangi, investasi ekonomi Thailand bergairah kembali.
Kita tak bisa memimpikan tegaknya hukum jika aparaturnya dihasilkan oleh proses rekrutmen (politik) yang bobrok. Pemerintah harus berani memutusi patologis birokrasi dan hukum sebagai dalang korupsi yang menjauhkan bangsa ini dari pencapaian visinya.

Umbu TW Pariangu
Dosen Administrasi Negara, FISIP Undana, Kupang

Kembali

Tindaklanjuti Kesaksian Hamka Yandhu

Sikap
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 31 Jul 2008, halaman 10.
Pernyataan anggota DPR Hamka Yandhu ketika bersaksi dalam sidang kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin lalu (28/7), sungguh mencengangkan. Dalam kesaksian itu, ia mengungkapkan bahwa semua anggota Komisi IX Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 menerima dana YPPI itu.
Dalam penyuapan secara massal itu, menurut Hamka, anggota Komisi Keuangan menerima uang dari dana YPPI rata-rata Rp250 juta-Rp300 juta per orang. Ada beberapa orang yang menerima Rp500 juta, bahkan Rp1 miliar. Di antara anggota Komisi Keuangan DPR 1999-2004 itu, sekarang ada yang menjadi pejabat negara. Mereka antara lain Paskah Suzzeta yang kini menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan MS Kaban yang kini menjadi Menteri Kehutanan. Sementara Baharudin Aritonang dan Abdullah Zaini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Kasus korupsi dana Bank Indonesia yang berasal dari YPPI ini merugikan negara sebesar Rp100 miliar. Dana tersebut diberikan ke panitia perbankan Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang BI. Sisanya Rp68,5 miliar untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan Deputi Gubernur Senior BI dalam kasus BLBI.
Sejauh ini, tiga mantan petinggi Bank Sentral telah dijadikan terdakwa, yakni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Komunikasi Rusli Simanjuntak. Dua mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang banyak berperan dalam pembagian dana BI telah dijadikan tersangka, yakni Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin.
Bukti-bukti dan para saksi yang diperiksa selama penyidikan hingga persidangan mengungkapkan sejumlah fakta yang mesti ditindaklanjuti. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti mencermati bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian itu untuk membongkar kasus aliran dana BI sebesar Rp100 miliar ini secara tuntas tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.
Para mantan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang telah menerima dana YPPI harus diperiksa semua. Sikap tak pandang bulu dan tak mau kompromi harus dipegang kuat karena kasus ini melibatkan para pejabat tinggi yang masih berkuasa, yakni dua menteri dan dua anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, para penerima dana YPPI tersebut adalah tokoh politik yang memiliki kekuatan untuk melawan tindakan hukum terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka masih aktif sebagai anggota DPR, pejabat eksekutif, atau pemimpin partai politik.
KPK juga mesti menindaklanjuti bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian lain yang terungkap dalam sidang sebelumnya. Kesaksian para mantan pejabat BI yang menerima dana bantuan hukum mengungkapkan uang itu mereka gunakan untuk keperluan lain.
Mantan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata mengaku menggunakan dana bantuan hukum Rp13,5 miliar dari YPPI untuk membeli rumah. Sisanya, disimpan dalam deposito atas nama anaknya. Mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono mengaku menerima dana YPPI Rp25 miliar, sedang mantan Direktur BI Hendro Budianto mengaku menerima Rp10 miliar, untuk sosialisasi dan diseminasi. Namun, kemudian mereka mengatakan uang itu sebagai utang dan akan dikembalikan.
Pernyataan-pernyataan yang janggal itu mesti diperiksa, dan ini merupakan kesempatan bagi KPK.

Penonaktifan Dipertimbangkan

Korupsi Berdampak Serius pada Lembaga DPR
Dikutip dari Rubrik Politik & Hukum di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 02.

Jakarta, Kompas - Terungkapnya 52 nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima dana Bank Indonesia di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Senin lalu, berdampak serius pada lembaga. Pimpinan DPR akan mengundang pimpinan fraksi dan Badan Kehormatan untuk mengambil sikap, termasuk kemungkinan penonaktifan anggota yang terlibat.
”Ini menimbulkan dampak serius bagi DPR karena jumlahnya banyak dan melibatkan hampir semua fraksi,” ucap Ketua DPR Agung Laksono, Selasa (29/7).
Selama ini, dalam menyikapi para anggota Dewan yang terlibat dalam kasus dana BI, pimpinan DPR hanya menunggu proses hukum. Namun, kali ini pimpinan DPR tampaknya akan mengambil langkah lebih tegas.
Ketika ditanya pers apakah anggota Dewan yang terlibat akan dinonaktifkan, Agung yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar mengatakan tidak menutup kemungkinan. ”Kita lihat nanti, meskipun tidak tertutup kemungkinan. Saya belum bisa bicara sekarang karena belum dibicarakan dengan pimpinan fraksi dan BK (Badan Kehormatan),” ujarnya.
Membantah
Mantan anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Baharuddin Aritonang, yang sekarang menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menegaskan, dia sama sekali tidak tahu-menahu soal dana BI tersebut. Dia juga menyatakan tidak menerima dana tersebut.
”Saya tidak ikut Pansus UU Bank Indonesia maupun Panja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kegiatan yang terkait BI,” ujarnya.
Bantahan juga datang dari Hakam Naja dan Rizal Djalil, keduanya anggota Fraksi Reformasi. Hakam dan Rizal membantah telah menerima aliran dana dari BI sebesar Rp 250 juta. ”Saya tidak pernah menerima dana itu, baik yang diberikan oleh Bank Indonesia sendiri maupun oleh pihak yang mengatasnamakan Bank Indonesia,” tulis Hakam dalam surat tertulisnya yang diterima Kompas, Rabu.
Sedangkan Rizal dalam surat tertulisnya mengatakan, selain tidak pernah menerima aliran dana BI dari Hamka Yandhu, ia juga tak pernah diminta Hamka untuk membagikan atau mendistribusikan aliran dana BI kepada anggota Fraksi Reformasi lainnya.
Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menyatakan, bantahan sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sudah dapat diduga. ”Sangkal-menyangkal ini fenomena klasik. Yang penting, mereka yang disebut Hamka Yandhu telah menerima dana dari BI perlu diperiksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk membuktikan kebenarannya,” ucap Emerson.

Usut tuntas
Secara terpisah, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan dukungannya atas pengusutan dugaan keterlibatan puluhan anggota DPR dalam kasus aliran dana BI.
Hidayat mengemukakan hal itu, Rabu, di sela-sela deklarasi delapan syarat komitmen kemasyarakatan yang ditandatangani 200 calon anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS), asal daerah pemilihan Jawa Tengah, di Kota Semarang.
Menurut Hidayat, kasus ini memang memprihatinkan, terlebih terdapat sejumlah tokoh yang duduk di dalam kabinet pemerintah, seperti halnya Paskah Suzetta dan MS Kaban. ”Kita berharap proses pengusutan di lembaga legislatif itu dapat tuntas,” katanya.
Pada deklarasi delapan komitmen masyarakat, Hidayat kembali mengingatkan bahwa Pemilu 2009 tetap menjadi tantangan besar bagi PKS untuk meningkatkan jumlah perolehan suara dibandingkan dengan Pemilu 2004. (SUT/NWO/WHO)

Kembali

Rabu, 30 Juli 2008

Reformasi Bukan Revolusi

TAJUK RENCANA
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 06.

Apa yang membangkitkan komparasi itu? Perasaan kecil hati ketika kita membaca banyaknya anggota DPR yang menerima dana dari Bank Indonesia.
Sebelumnya, media memaparkan jumlah kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan dan kasusnya tersebar luas di semua provinsi sehingga memberi kesan merata ke seluruh negeri. Padahal, sementara itu, gerakan dan tindakan hukum antikorupsi semakin gencar pula. Muncul pertanyaan dan gugatan diri, apa makna dan dampak reformasi jika penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan lewat korupsi begitu marak?
Perasaan kecewa, kecil hati, dan terpukul harapan itulah yang mendorong kita membuat perbandingan antara reformasi dan revolusi. Maksudnya agar duduk perkara dan proporsinya jelas dan kita tetap bersemangat melanjutkan reformasi.
Revolusi dipahami sebagai perubahan fundamental secara radikal, serentak, dan cenderung disertai kekerasan. Reformasi adalah perubahan yang bisa juga mendasar, tetapi tidak sekaligus serentak, melainkan cenderung damai tanpa disertai kekerasan. Makan waktu, bertahap, tanpa kekerasan tetapi konsisten.
Apakah jika reformasi ditempatkan pada konotasi pengertian di atas, kita lantas boleh puas dan sabar dengan beragam penyimpangan dan pelanggaran yang hampir berupa skandal itu? Di antaranya, yakni meratanya korupsi serta beragam skandal kasus dan pengadilan korupsi akhir-akhir ini?
Jelas, kita tidak boleh puas dan justru harus terhinggapi perasaan heran, gemas, serta protes seperti yang kita rasakan ini. Namun, pada waktu yang sama, perlu menangkap perbedaan antara revolusi dan reformasi.
Reformasi bukan perubahan mendasar dan radikal yang mendadak sontak seraya menjungkirbalikkan semua nilai lama. Reformasi tetap suatu perubahan yang makan waktu tetapi konsisten, yang tak sekaligus mendadak sontak, tetapi bertahap serta serius disertai tujuan dan kriteria yang jelas tanpa disertai kekerasan.
Dalam konteks pengertian reformasi, kita pada tempatnya heran dan gemas terhadap berbagai kasus yang sepertinya memberikan kesan tak berdayanya reformasi dan masa depannya gerakan pembaruan tersebut. Namun, serentak dengan sikap dan perasaan itu, kita juga paham bahwa memanglah makan waktu dan jatuh bangun tetapi masih dalam kerangka reformasi itu.
Lagi pula, jangan juga kita alpakan keberhasilan dibangunnya institusi peradilan dan efektivitas kinerja institusi itu. Yakni, institusi KPK yang berhasil mengungkap kasus korupsi dan membawanya ke pengadilan.
Hal itu menimbulkan reaksi dan perasaan ganda, terkejut dan kecewa, karena masih begitu banyak terjadi korupsi dalam periode reformasi, tetapi sekaligus menunjukkan betapa KPK telah berhasil mengungkap dan mengadili kasus korupsi secara begitu efektif.
Dalam kaitan itulah kita katakan, reformasi bukan revolusi. Reformasi harus jalan terus!

Hukuman Mati untuk Koruptor

Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, mis, 31 Juli 2008 halaman 06
Oleh ROMLI ATMASASMITA
Wacana hukuman mati bagi koruptor akhir-akhir ini mencuat setelah hakim tipikor menjatuhkan vonis terhadap terdakwa ART hanya lima tahun.
Hukuman itu tentu merupakan ancaman hukuman maksimum bagi siapa pun yang terbukti melanggar Pasal 5 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan masyarakat yang menyesalkan ancaman itu, seharusnya ditujukan kepada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim tipikor atau jaksa penuntut KPK.

Untuk pelaku tipikor
Dalam undang-undang itu, ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tipikor yang melanggar Pasal 2 Ayat 1, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk dihapuskan di dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) dengan UU No 12 Tahun 1995; hanya pada Pasal 6 Konvenan itu masih dibolehkan dalam tiga keadaan.
Pertama, hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan yang serius (serious crimes).
Kedua, tidak dapat diberlakukan UU secara retroaktif.
Ketiga, harus atas dasar putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap.
Keempat, tidak dapat diterapkan terhadap wanita yang sedang hamil dan anak di bawah usia 18 tahun. Jika pidana mati diterapkan, penerapannya harus mempertimbangkan hak seorang terdakwa pidana mati untuk mendapat pengampunan dan komutasi dengan pidana lainnnya.
Rancangan KUHP (2007) telah memuat jenis pidana mati sebagai pidana kekecualian, bukan termasuk pidana pokok, bahkan diatur kemungkinan penjatuhan pidana mati bersyarat untuk memberi pertobatan agar kelak yang bersangkutan terhindar dari pelaksanaan pidana mati.
Ancaman pidana mati juga masih merupakan pidana pokok di dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman pidana mati dimasukkan ke dalam empat pasal tentang tindak pidana terorisme.

Diborgol
Merujuk dua sisi hukum nasional dan hukum internasional itu, semakin jelas, perkembangan pengaturan pidana mati semakin moderat, berbeda dengan aspirasi sementara masyarakat untuk menerapkan dan tetap menghidupkan ancaman pidana mati terhadap kejahatan serius.
UU Pemberantasan Korupsi khusus Pasal 2 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang memuat ancaman pidana mati perlu diubah dan diperjelas dengan ancaman alternatif pidana selain pidana mati, seperti sanksi kerja sosial, sehingga efek jera akan muncul saat yang bersangkutan berada di hadapan publik melakukan pekerjaan di tempat umum.
Untuk menambah efek jera, tersangka korupsi seharusnya dikenai pemborgolan dan dengan baju tahanan seperti diterapkan di negeri jiran (Malaysia dan Singapura). Tindakan itu tidak dilakukan di Indonesia sehingga tersangka korupsi dapat berjalan bebas layaknya bukan tersangka dan mengunjungi kantor KPK seperti hendak berkantor saja.
Sanksi sosial
Sanksi sosial tampaknya lebih berguna daripada menjatuhkan hanya pidana mati terhadap koruptor, yang terbukti tidak efektif dan mampu mencegah serta memberantas korupsi, seperti telah terjadi di China. Semakin banyak koruptor di China ditembak mati di hadapan publik justru korupsi tidak semakin berkurang. Bahkan, kini China mempelajari sistem pencegahan korupsi yang berhasil dijalankan Pemerintah Korea Selatan.
Yang terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan masalah ancaman pidana setinggi-tingginya, tetapi bagaimana memelihara dan mempertahankan agar pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dijalankan secara konsisten. Juga tidak ada perlakuan berbeda berdasarkan status sosial dan ekonomi terpidana, termasuk sejak yang bersangkutan dalam masa penahanan sampai menjalani pidananya, seperti adanya rumah tahanan dan LP layaknya hotel berbintang empat.
Pengawasan ekstra ketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan pidana menjadi masalah penting di Indonesia untuk memberi efek jera dibandingkan pidana mati yang masih diragukan efek jeranya.
Maka, perlu peninjauan kembali ketentuan tentang remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan jadwal kunjungan di rumah tahanan dan LP, terutama bagi pelaku kejahatan serius termasuk korupsi.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

Kembali

Sanksi Belum Beri Efek Jera kepada Penyuap

Artalyta Suryani Dihukum Lima Tahun Penjara

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images Terdakwa Artalyta Suryani alias Ayin memasuki mobil tahanan seusai sidang pembacaan putusan terhadap dirinya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (29/7). Artalyta divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim dalam kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dollar AS. Kamis, 31 Juli 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Sanksi lima tahun terhadap Artalyta Suryani alias Ayin dinilai terlalu rendah dan tak memberikan efek jera kepada pelaku suap. Artalyta seharusnya dihukum lebih tinggi karena perbuatannya bukan hanya menyuap, tetapi menghancurkan proses hukum terhadap kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI pula.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin S mengatakan hal itu, Rabu (30/7) di Jakarta. Sebelumnya, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, memvonis lima tahun penjara kepada Artalyta yang dinilai terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Urip adalah ketua tim penyelidik kasus BLBI terkait Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
”Putusan itu sangat mengecewakan. Majelis hakim mestinya menggali hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan suap Rp 6 miliar lebih itu, terdakwa mengacaubalaukan kasus BLBI yang terkait dengan BDNI, yang nilai kerugian negara sampai Rp 22 triliun,” ujarnya.
Boyamin menilai dampak perbuatan Artalyta sangat besar. Karena itu, seharusnya Artalyta tidak hanya dijerat dengan pasal penyuapan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga pasal lain dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).
”Dengan demikian, Artalyta bisa dituntut dan dihukum lebih berat. Jika hanya lima tahun penjara, tak ada efek jera kepada penyuap dan tidak bisa dikirim ke Nusakambangan,” ujarnya.
Pakar hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Prof Dr Adi Sulistyono, berharap vonis lima tahun bagi Artalyta cukup menggetarkan calon penyuap. Namun, jika Artalyta mengajukan banding hingga kasasi, hakim di pengadilan yang lebih tinggi lebih progresif.
”Hakim di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung harus berani mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman dua kali dari vonis yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama,” ujarnya.
Yang terpenting, Adi menegaskan, apabila Artalyta mengajukan banding dan kasasi, masyarakat dan media massa wajib mengawal putusan itu. ”Jangan sampai Artalyta bermain-main dengan hakim di pengadilan tinggi dan hakim agung,” katanya.

Vonis sama dengan tuntutan
Dalam persidangan Selasa lalu, majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago dan anggota Edward Pattinasarany, Dudu Duswara, Andi Bachtiar, dan Ugo menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Artalyta. Vonis ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Terdakwa juga dihukum membayar denda Rp 250 juta. Artalyta juga tetap ditahan dan lamanya hukuman penjara dikurangi masa tahanan yang dijalani.
Majelis hakim menyatakan Artalyta terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan penyuapan. Karena itu, terdakwa harus dijatuhi setimpal dengan perbuatannya karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan bukti, keterangan saksi, ahli, dan keterangan terdakwa, tak terdapat alasan yang bisa menghapuskan sifat pertanggungjawaban pidana pada terdakwa.
Dalam pertimbangan hakim, tak ada hal-hal yang meringankan terdakwa. Sebaliknya hal yang memberatkan, selain tak mengakui kesalahan dan memberikan keterangan berbelit-belit, perbuatan Artalyta dinilai mencederai tatanan penegakan hukum di Indonesia.
Setelah membacakan putusan, hakim Mansyurdin memberikan waktu kepada terdakwa untuk menyatakan sikap menerima atau menolak vonis itu. Jika tak menerima, terdakwa bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
”Saya pikir-pikir Yang Mulia,” ujar Artalyta dengan singkat setelah berkonsultasi dengan tim penasihat hukum yang dipimpin OC Kaligis.
Sebaliknya, tim jaksa penuntut umum, Sarjono Turin, Zet Tadung Allo, dan Jaya Sitompul, menerima vonis itu, dengan alasan pertimbangan hukum majelis hakim mempunyai kesamaan dengan jaksa penuntut umum, baik dari tuntutan maupun denda.
Sidang pembacaan vonis terhadap Artalyta menarik perhatian pengunjung. Sesuai jadwal, seharusnya pembacaan putusan berlangsung pukul 09.00, tetapi sidang baru berlangsung pukul 10.45. Sejak pagi, gedung Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta dipenuhi oleh pengunjung, terutama keluarga, kerabat, dan karyawan Artalyta.
Saat sidang dimulai, ruangan sidang di lantai satu penuh sesak, bahkan sampai lantai dasar dan halaman dipenuhi orang.
Seusai sidang, Artalyta dikawal ketat polisi meninggalkan pengadilan. Kaligis menyatakan, kliennya sangat kecewa dengan putusan majelis hakim. ”Dia bilang apa gunanya pengadilan kalau memang sejak semula dia sudah dihukum,” katanya. (son)

Kembali

Selasa, 29 Juli 2008

Tersangka Harus Diborgol

Pencegahan Korupsi
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008.

Jakarta, Kompas - Selama ini perlakuan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terhadap tersangka korupsi masih terhormat. Hal itu tak menimbulkan efek jera, bahkan tersangka tidak bisa dibedakan dari orang lain yang datang ke KPK. Karena itu, semestinya tersangka korupsi diberikan seragam khusus dan diborgol, seperti tersangka lain.
Demikian dikatakan guru besar pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, dalam diskusi tentang pencegahan korupsi di Jakarta, Senin (28/7).
Diskusi yang diprakarsai Indonesian Legal Roundtable dan harian Kompas itu menampilkan pula Wakil Ketua KPK M Yasin, anggota Komisi III DPR Benny K Harman, dan Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch sebagai narasumber.
Romli mengatakan, sebenarnya sanksi sosial lebih efektif untuk mencegah korupsi dibandingkan dengan sanksi pidana, termasuk hukuman mati. Karena itu, KPK harus berani memulai, dengan tersangka korupsi diborgol dan memakai seragam saat diperiksa. Kondisi ini juga dilakukan di sejumlah negara. Bahkan, ada menteri di negara tetangga, karena disangka korupsi, tetap diborgol dan memakai seragam penjara saat diperiksa.
Menurut Romli, pemakaian seragam tahanan dan borgol kepada tersangka korupsi tak melanggar hukum. KPK mempunyai kewenangan untuk menerapkannya. ”KPK tak perlu menyatakan tidak akan mempermalukan tersangka. Ini untuk menimbulkan efek jera,” kata mantan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Yasin mengakui, KPK memang sudah membahas kemungkinan pengenaan seragam dan pemborgolan bagi tersangka korupsi. Tak ada pimpinan KPK yang keberatan dengan ide itu, sepanjang untuk menimbulkan efek jera terhadap tersangka korupsi. ”Tunggu saja dalam waktu dekat aturan itu akan diterapkan,” katanya.
Romli juga menjelaskan, dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diperkenalkan hukuman kerja sosial. Sebab itu, untuk memperkuat efek penjeraan, terpidana korupsi perlu diberikan sanksi tambahan kerja sosial, seperti yang diterapkan di Korea Selatan.
”China, yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, kini juga belajar ke Korsel. Sebab, begitu hukuman mati diterapkan, korupsi masih tetap saja terjadi,” ujar Romli lagi.
Benny menambahkan, kini di DPR berkembang semangat kebatinan untuk mematikan KPK secara perlahan-lahan. Semangat ini muncul sejak KPK menangkap sejumlah anggota DPR yang diduga terlibat dalam korupsi.
Terhadap ”ancaman” dari Dewan itu, Teten menegaskan, KPK harus tetap maju. Bahkan, apabila memang ada buktinya, 100 anggota DPR yang disangka terlibat korupsi harus ditangkap. ”KPK harus bertindak cepat,” katanya. Partai politik yang tegas menindak anggotanya yang korupsi pasti didukung rakyat. (vin/tra)

Senin, 28 Juli 2008

52 Anggota DPR Terlibat

Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008, halaman 01

JAKARTA, KOMPAS - Semua anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004, yangberjumlah 52 orang, disebut menerima dana dari Bank Indonesia, dengan nilai total Rp 21,6 miliar. Pembagiandana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda terima, dan tidak ada pertanggungjawaban.
Jumlah terbesar diterima Ketua Komisi IX saat itu Paskah Suzetta sebesar Rp 1 miliar, disusul Rp 500 juta yang diterima Hamka Yandhu dan Danial Tanjung, dan Rp 400 juta diterima Amru Al Mu'tashim. Anggota Komisi IX lainnya menerima sekitar Rp 250 juta - Rp 300 juta. Dana yang diterima Antony Zeidra Abidin, tersangka kasus aliran dana BI kepada anggota DPR, tak diketahui.
Kucuran dana BI pada anggota Komisi IX DPR ini diungkapkan Hamka Yandhu YR, mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IX DPR, saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan BI, dengan terdakwa mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simandjuntak di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (28/7).
Selain Hamka, sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Moefri itu juga mendengarkan keterangan dua mantan anggota Komisi IX DPR, Amru Al Mu'tashim dan Aly As'ad, serta mantan Direktur BI Paul Sutopo.
Hamka, yang tampil setelah Paul, pada awal memberikan keterangan dengan suara perlahan dan terbata-bata. Ia menyatakan pada 2003 Komisi IX DPR pernah menerima dana dari BI. Dana itu diserahkan Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari (pengurus YPPI) melalui Antony. Antony lalu meminta Hamka untuk menyalurkan dana itu.
Dana dari BI itu diberikan pada Komisi IX dalam empat tahap. Tahap I sebesar Rp Rp 2 miliar, tetapi yang diterima Hamka Rp 1,8 miliar. Tahap II sebesar Rp 5,5 miliar, yang diterima Hamka Rp 4,95 miliar. Tahap III sebesar Rp 10,5 miliar, yang diterima Hamka Rp 9,45 miliar. Tahap IV sebesar Rp 6 miliar, yang diterima Hamka Rp 5,4 miliar. Dana itu diserahkan secara tunai dalam koper, untuk dibagikan oleh Hamka pada anggota Komisi IX lainnya.
Ditanya hakim mengapa jumlahnya berkurang, kata Hamka, menurut informasi Antony dipotong 10 persen. ”Potongan 10 persen itu untuk siapa?” tanya hakim Moefri. Hamka menjawab, ”Ya mungkin untuk Asnar. Karena Antony bilang mereka potong 10 persen.”
Pada awalnya, Hamka mengaku pemberian dana itu dua kali diberikan Rusli dan Asnar di rumah Antony, dan dua kali diserahkan di hotel. Namun, ketika majelis hakim bertanya kembali, Hamka mengaku tak ingat. ”Yang saya ingat hanya dua kali di rumah Antony dan di hotel. Pertama lupa, yang kedua di rumah Antony, yang ketiga di hotel, yang keempat lupa saya, Pak,” katanya lagi. Ia mengakui, besaran bagian untuk anggota Komisi IX ditentukan Antony,
Hamka menyatakan, dari yang dia dengar dari Antony, dana itu dalam rangka diseminasi dan sosialisasi undang-undang BI dan dalam rangka Pemilu.
Dalam persidangan, Hamka juga menegaskan, 52 anggota Komisi IX DPR yang berasal dari sembilan fraksi menerima dana dari BI seluruhnya. Nama penerima dana itu dibacakan majelis hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang kemudian dibenarkan Hamka.
Nama Paskah disebutkan
Saat Hamka menyebutkan 12 nama dari Fraksi Partai Golkar, hakim sempat bertanya apakah ada lagi dari fraksinya yang menerima dana BI, selain yang disebutkan. Hamka menyebutkan nama Paskah Suzetta.
”Paskah Suzetta berapa ?” tanya hakim Moefri
”Eh, lupa jumlahnya, Pak. Kurang lebih Rp 1 miliar,” jawab Hamka.
”Beliau menerima.” tanya Moefri lagi. Hamka menjawab, ”Ya.”
Hakim Moefri bertanya kembali, ”Yang menyerahkan kepada Paskah Suzetta siapa ?” Hamka menjawab, ”Saya sendiri.” Hakim Moefri kembali bertanya berapa jumlahnya, dan dijawab Hamka, diberikan bertahap jumlahnya sekitar Rp 1 miliar.
Anggota majelis hakim I Made Hendra Kusuma bertanya, selain anggota Komisi IX dari sembilan fraksi apakah ada unsur pimpinan Komisi IX yang menerima dana itu. Hamka menyebutkan, selain Paskah Suzetta, ada juga Emir Moeis, Faisal Baasir, dan Ali Masykur Musa.
Adakah pertanggungjawaban terhadap dana itu? Hamka yang April 2008 lalu mengembalikan dana Rp 500 juta yang diterimanya, hanya menjawab singkat. ”Mereka sudah terima, enggak perlu bikin laporannya, Pak.” Hamka juga mengaku menyerahkan dana itu di ruang kerjanya pada jam istirahat. Masing-masing perwakilan fraksi diminta datang.
Hamka menyatakan ada anggota Komisi IX juga pernah ikut studi banding ke Amerika Serikat. Perjalanan itu dibiayai BI.
Amru dan Aly As'ad mengakui pula pernah menerima dana Rp 300 juta secara bertahap. Namun, dana itu dikembalikan, setelah penggunaan dana BI itu terungkap dan disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Amru mengakui menerima dana melalui Hamka. Sebelum menerima dana itu, dia menerima pesan layanan singkat dari teleponnya agar ke ruangan kerja Hamka. Kali pertama Hamka menyerahkan dana Rp 100 juta yang dimasukkan dalam amplop. Ia sempat bertanya uang apa itu, tetapi dijawab Hamka, ”Halal. Terima saja.” Sepuluh hari kemudian, ia masih menerima dua kali lagi sebesar Rp 200 juta.
Amru menyatakan, dia menyadari dana itu bukan uang resmi, sehingga ketika dipanggil KPK ia mengembalikannya. ”Saya sudah tua. Daripada mengganjal saya kembalikan Rp 300 juta itu,” katanya lagi.
Aly juga mengakui tiga menerima uang dari Hamka, masing-masing Rp 100 juta. Seperti dikatakan Hamka, uang itu untuk kepentingan sosialisasi UU dan kampanye Pemilu 2004. (SON)

Kembali

Wajah Hukum Indonesia

Oleh Satjipto Rahardjo
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 06.

Sudah seharusnya hukum dibicarakan dalam konteks manusia. Membicarakan hukum yang hanya berkutat pada teks dan peraturan, bukanlah membicarakan hukum secara benar dan utuh, tetapi hanya ”mayat” hukum. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia. Hukum formal adalah hukumnya para profesional hukum. Yang mereka bicarakan adalah ide yang sudah direduksi menjadi teks. Karena itu, saya menamakannya ”mayat’. Para profesional memang memerlukan pegangan hukum formal itu sebagai modal untuk bekerja. Di tangan mereka hukum ”bisa” ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua.
Pembangunan manusia Akhir-akhir ini marak kembali pembicaraan tentang manusia Indonesia (”Masa Depan Manusia Indonesia”, Kompas, 21/7/2008). Ini bagus untuk membangun hukum Indonesia. Pada hemat saya, membangun hukum Indonesia dimulai dari manusianya. Selama ini kita kurang cerdas dalam siasat berhukum. Hukum memang diperlukan, tetapi juga tidak terlalu diperlukan. Maka kita tidak usah terlalu sibuk memproduksi undang-undang, membangun orde hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan sebagainya. Contohnya, periode kepresidenan Habibie membanggakan karena mampu mengeluarkan puluhan produk undang-undang. Namun, usaha itu tidak berbanding lurus dengan ketertiban di masyarakat. Undang-undang menumpuk, tetapi persoalan tidak kunjung terselesaikan dengan baik, bahkan kian terpuruk. Kapan kita mulai belajar dari pengalaman? Pengalaman membangun hukum selama ini telah mengabaikan manusia-manusia, baik yang menjalankan maupun yang menjadi adresat hukum. Maka, kita harus mendahulukan pembangunan manusia Indonesia lebih dulu. Dari situ, hukum akan turut terbangun dan kehidupan menjadi lebih baik. Berkali-kali, harian ini menyajikan tulisan agar kita memerhatikan kaitan erat antara hukum dan manusia. Dengan demikian, juga akan terangkat pentingnya faktor manusia dalam hukum. Hukum itu bukan hanya peraturan, tetapi lebih merupakan potret dari perilaku kita sendiri (Kompas, 23/9/2002). Sebelum berbicara tentang penegakan hukum (enforcement) kita harus bicara tentang perilaku santun dan tertib lebih dulu (Kompas, 17/4/2007). Selalu saja manusia akan berkelebat, setiap kali hukum dibicarakan. Untuk mengenali betul hukum Amerika Serikat, lihatlah manusianya. Begitu juga untuk memahami hukum Jepang dengan baik, selidikilah potret manusia Jepang lebih dulu. Tetapi, memahami hukum Amerika Serikat dan Jepang hanya dari teks formal saja, itu keliru besar. Jika kita menyadari hal-hal itu, siasat untuk bangun dari keterpurukan hukum menjadi berubah amat besar. Bukan (tatanan) hukum yang dikutak-katik, tetapi lebih dulu menggarap (perilaku) manusia Indonesia. Kiranya, dengan berbagai kekurangannya, hukum Indonesia sudah dapat dipakai sebagai modal untuk bangun dari keterpurukan. Apa kurangnya UU Antikorupsi yang sudah berkali-kali disempurnakan? Apa salahnya membentuk KPK dan Pengadilan Tipikor? UU Antikorupsi, KPK, Pengadilan Tipikor dibuat, tetapi ironisnya, korupsi malah merebak di mana-mana. Dari Sabang sampai Merauke, dari menteri dan DPR sampai bupati dan DPRD. Teori-teori berguguran karena undang-undang malah menimbulkan efek negatif. UU Antikorupsi telah menyuburkan korupsi. Kita telah salah menembak sasaran.
Pendidikan budi pekerti Janganlah memandang remeh pendidikan budi pekerti bagi anak-anak pada usia (amat) dini sebagai bagian dari pendidikan hukum. Perilaku disiplin, antre, jujur, menghormati teman, kesantunan, adalah contoh-contoh pendidikan hukum par exellence. Maka, pendidikan hukum yang ideal adalah yang langsung menohok substansi perilaku, tanpa perlu menyebut kata ”hukum” sama sekali. Menyuruh anak- anak membaca teks undang-undang adalah pendidikan hukum yang buruk. Mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dapat diajarkan kepada anak-anak, tetapi bukan dengan membaca teks. Berikan alasan substansial kepada anak-anak mengapa harus antre, jujur, dan sebagainya, tetapi jangan dengan mengutip teks undang-undang. Ajarkanlah budi pekerti hukum, bukan teks hukum. Tampilkan perilaku manusia, bukan undang-undang. Hari sudah sangat siang, keterpurukan, keambrukan (collapse) hukum sudah nyata di depan mata. Kita membutuhkan cara-cara progresif untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan itu. Cara itu adalah dengan mereparasi perilaku buruk manusia Indonesia. Apa yang dilakukan Prof Koentjaraningrat (1969) dan Mochtar Loebis (1977) adalah membuat diagnosis yang perlu diikuti dengan terapinya. Sudah 30 tahun peringatan itu dibiarkan berlalu. Manusia Indonesia perlu diobati lebih dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem dan sebagainya.

Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Keluar dari Jerat Korupsi

Oleh Saldi Isra
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 6.

Selama dua hari berturut-turut, harian Kompas (21-22/7), menurunkan laporan kasus korupsi di berbagai daerah dan di berbagai instansi yang terungkap atau diproses selama tahun 2008. Laporan itu menyadarkan kita, betapa praktik korupsi benar-benar telah menggurita di tingkat pusat maupun daerah.
Belum lagi tuntas membaca ”peta korupsi” yang dimuat Kompas itu, masyarakat kembali disentakkan perilaku menyimpang jaksa Tri Urip Gunawan dalam penanganan kasus korupsi. Ketika memberi kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (24/7), Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf mengakui terpaksa memberi uang Rp 1 miliar kepada jaksa Urip (Kompas, 25/7).
Jika pengakuan Glenn Yusuf ditambah kasus suap antara jaksa Urip dan Artalyta Suryani, sulit membantah sinyalemen yang berkembang selama ini, penanganan kasus korupsi sarat dengan pemerasan dan suap. Dalam banyak kasus, penegak hukum memanfaatkan pemberantasan korupsi untuk memperoleh keuntungan finansial dengan menjadikan mereka yang tersangkut kasus korupsi sebagai mesin uang.
Bagaimana menjelaskan mengguritanya praktik korupsi dengan perilaku menyimpang penegak hukum? Bahkan, dalam kasus BLBI, perhatian publik yang begitu luas tak menimbulkan rasa takut penegak hukum untuk melakukan penyimpangan. Lalu, langkah progresif apakah yang mungkin dilakukan untuk menghambat laju korupsi agar negeri ini tidak masuk jurang kehancuran?

Substansi hukum
Substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu, substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat norma hukum yang tidak jelas atau kabur.
Substansi hukum yang kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai kepentingan masing- masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari kasus suap dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip benar-benar ”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski belum tentu tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri. Namun dapat dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis kelemahan substansi hukum dalam perkara BLBI.
Salah satu substansi hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum adalah adanya peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati kasus BLBI, penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup bukti. Setelah kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan, alasan tidak cukup bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.
Dari penjelasan itu, terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu dimanfaatkan secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi dijatuhi pidana maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK yang mampu sedikit mengkhawatirkan koruptor.
Langkah progresif
Untuk keluar dari jerat korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah progresif berupa pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum dan pelaku tindak pidana korupsi.
Untuk substansi hukum, diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada, tidak mungkin menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi substansi hukum sama dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.
Sementara itu, penegak hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi shock-therapy dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat perbuatan yang begitu memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana maksimal. Memberikan hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan kasus korupsi tentu tidak akan memberi efek jera.
Khusus untuk pelaku korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau dengan mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah progresif lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses hukum, dalam setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan) harus memakai pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka harus menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.
Saya percaya, tanpa langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari jeratan korupsi. Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur karena korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?
Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara;
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Perang Melawan Korup(si)tor

Oleh Aloys Budi Purnomo
Dikutip dari Rubrik OPINI di Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 6

Laporan Kompas (21/7/2008) terkait merebaknya korupsi dari Aceh sampai Papua membuat kita semua terenyak. Sedemikian parah republik ini digerogoti perilaku koruptif, dari pusat hingga daerah, dari Sabang sampai Merauke!
Itu baru laporan fakta korupsi 2008, belum memperhitungkan data tahun 2005-2008. Sepanjang tahun 2005-2008, ada delapan gubernur-wakil gebernur dan 32 bupati-wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota yang terjerat kasus korupsi. Masih lagi, ratusan anggota DPRD berbagai daerah yang diperiksa dan diadili karena kasus korupsi.
Elite politik dan kekuasaan republik ini sudah benar-benar korup! Tak ada lagi tempat bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme! Inilah penghambat utama cita-cita menyejahterakan rakyat! Karena itu, tidak ada kata lain kecuali menyerukan perang melawan korupsi dan koruptor!

Musuh rakyat
Kini, musuh rakyat tidak lain adalah para koruptor! Di tengah keterpurukan sosial-ekonomi, dan rakyat sulit mengais rezeki banyak elite politik dan kekuasaan tega mencuri uang rakyat.
Sungguh suatu paradoks. Mereka yang dipilih rakyat dan dipercaya mengemban tugas demi kesejahteraan rakyat justru mencuri harta rakyat dan membesarkan perut sendiri dengan korupsi. Mereka tidak menggunakan kesempatan untuk melayani rakyat, tetapi sibuk mencari kekayaan pribadi.
Para elite politik dan kekuasaan negeri ini, mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, telah berkhianat terhadap rakyat. Mereka yang dipilih dan dipercaya mengemban tugas menyejahterakan rakyat menata masa depan bangsa dan menjaga keadilan hidup bersama justru berbalik menjadi musuh rakyat.
Kaidah salus populi suprema lex tak lagi berarti untuk republik ini. Keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi tidak hanya tidak terwujud dalam tingkat peradilan yang korup, tetapi juga pada tingkat kesejahteraan rakyat yang tidak segera terwujud!
Ini merupakan dampak paling buruk praktik KKN yang telah merajalela di seluas Nusantara. Para politikus kita selalu menebar janji pada saat kampanye demi meraih kekuasaan bukan demi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Bahkan, setiap kali terbukti, janji-janji mereka tidak pernah ditepati!
Ketegaan para koruptor meraup uang negara, yang juga uang rakyat, merupakan indikasi mereka lebih kotor dibandingkan cara Machiavelli, lebih tidak berperikemanusiaan, tidak adil dan tidak beradab terhadap rakyat.

Melembaga
Praktik korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga sulit dibersihkan. Ketika korupsi sudah menyusup ke lembaga peradilan, melalui jual beli perkara, kian hebatlah virus korupsi.
Pelaku korupsi selalu bertemali, bergandeng tangan, dan tidak sendirian. Ini kian menegaskan, korupsi bukan saja menggurita, tetapi kian menjadi sistem yang melembaga.
Kita ingat, korupsi menjadi sistem yang melembaga pada masa Soeharto masih hidup. Selalu tampak adegan menarik. Di saat ia hendak diadili karena kasus korupsi, proses peradilan selalu gagal dengan dalih Soeharto sakit. Di lain pihak, di saat ada acara ”keluarga Cendana”, mantan orang nomor satu itu tampak sehat dan ceria.
Dalam wajah yang sama, para koruptor di negeri ini menampilkan diri. Bahkan, karena korupsi sudah kian menjadi sistem yang melembaga, para koruptor bahkan bertingkah seperti artis-selebritis di depan layar kaca. Tidak ada rasa malu, berdosa, apalagi jera!
Menghadapi sikap tumpul hati dan absennya nurani para koruptor, serta kian merajelalanya perilaku koruptif di negeri ini, tidak ada jalan lain kecuali rakyat harus menyatakan perang terhadap korup(si)tor! Inilah era rakyat menyatakan perang terhadap korupsi dan koruptor!
Langkah paling efektif mewujudkan sikap perang melawan korup(si)tor adalah melalui kewaspadaan politik. Jangan lagi rakyat tergiur janji politisi yang jelas-jelas sudah menipu rakyat! Jangan lagi rakyat memilih mereka yang jelas-jelas korup!
Sambil menunggu para koruptor yang sudah ditangkap mendapat proses pengadilan serta hukuman sepantasnya, rakyat bisa menyatakan perang melawan korup(si)tor melalui mekanisme Pemilu 2009 mendatang!

Aloys Budi Purnomo
Rohaniwan, Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan;
Ketua Komisi HAK, Keuskupan Agung Semarang