Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 12 Agustus 2008
Berita Komite Penyelidik dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah, yang menyerukan agar Presiden tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus (Kompas, 4/8/2008), menarik disimak.
Sekretaris KP2KKN secara lugas menyatakan, jika Presiden memberi remisi kepada para koruptor karena kelakuan baik selama di penjara, hal itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Korupsi yang notabene dikeluarkan Presiden.
Meski wacana yang dikembangkan KP2KKN adalah soal remisi, jika dibaca dari perspektif lebih luas, seruan itu bisa ditempatkan sebagai kritik terhadap efektivitas pidana penjara di Indonesia, sebagai salah satu bentuk pemidanaan yang diyakini bisa mewujudkan fungsi hukum pidana, terkait efek jera (deterrent effect), bagi terpidana korupsi.
Lima fungsi hukum
Mengutip Wayne R La Fave dalam Modern Criminal Law (Siswanto, 2005), ada lima fungsi hukum pidana.
Pertama, retribution. Pemidanaan digunakan sebagai balasan dan pemberian penderitaan setimpal terhadap pelaku pidana berdasarkan prinsip an eye for an eye.
Kedua, detterence. Timbulnya rasa jera.
Ketiga, denunciation. Penegasan bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang adalah salah.
Keempat, incapatitation. Menjaga (melalui penahanan) agar pelaku tidak mampu lagi melaku-kan tindak pidana.
Kelima, rehabilitation. Perbaikan pelaku tindak pidana.
Tersirat dari seruan KP2KKN keraguan terhadap efektivitas pidana penjara dalam menimbulkan efek jera saat penjara menjadi bagian mata rantai peradilan yang sarat korupsi. Remisi hanya satu titik rentan praktik koruptif dari beberapa titik rawan lain di penjara, seperti pemberian fasilitas tertentu, dan perlakuan istimewa.
Berbagai laporan pemantauan peradilan yang dilakukan aktivis pemantau peradilan, misalnya, mengidentifikasi, remisi telah dimanipulasi menjadi ”barang yang diperjualbelikan bebas” kepada terpidana koruptor yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (LP).
Contoh, tahun 2006, Tommy Soeharto mendapat ”kucuran remisi beruntun”. Tommy merupa-kan terpidana kasus pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata gelap. Banyak pihak mempersoalkan transparansi dan akuntabilitas pemberian remisi kepada Tommy yang belakangan, pada kasus korupsi, dirinya diputus bebas murni oleh pengadilan.
Tak gentar
Melihat kondisi LP yang telah korup, wajar jika ada yang meragukan efektivitas fungsi pemidanaan dalam bentuk pidana penjara. Alih-alih terjadi efek jera, kehadiran para koruptor justru menyuburkan praktik koruptif di penjara. Koruptor yang seharusnya datang ke penjara sebagai pesakitan, justru menjadi powerfull. Ia bisa mengatur dan mengondisikan apa pun di penjara sesuai kehendaknya.
Pada situasi penuh praktik koruptif, seperti di LP Indonesia, penjara tidak lagi menjadi bui menakutkan bagi koruptor. Koruptor tak gentar lagi dengan penjara. Jangan-jangan hal ini bisa menjadi penjelasan, mengapa banyak orang tidak takut dipenjara dan tetap bermain-main dengan korupsi. Keangkeran penjara tidak lagi menakutkan. Bahkan, mungkin mereka berpikir jika kelak menjadi terpidana, penjara dan semua perangkat aparat dengan mudah bisa ”dibeli” dengan hasil korupsi.
Dalam konteks inilah menjadi relevan kritik terhadap efektivitas pidana penjara (plus pidana denda) terhadap koruptor sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001. Dengan mengemukakan, alternatif hukuman lain diasumsikan bisa menimbulkan efek jera dan rasa ngeri terhadap siapa pun yang ingin bermain api dengan korupsi, seperti wacana hukuman mati yang mengemuka akhir-akhir ini. Introduksi tentang wacana hukuman mati sendiri memancing perdebatan alot.
Setidaknya aktivis HAM antihukuman mati akan kembali mengargumentasikan berbagai keberatannya, baik dari sudut filsafat moral, konstitusionalitas, maupun penerapannya dalam hukum pidana. Titik krusial yang akan dikemukakan adalah apakah tidak terlalu riskan menerapkan hukuman mati dalam perkara korupsi di tengah proses peradilan yang rentan terkontaminasi praktik judicial corruption. Belum lagi cara kerja aparat penegak hukum yang tidak profesional dan penegakan hukum yang diskriminatif karena lebih dilatarbelakangi ”motif politis” daripada motif penegakan hukum murni.
Fungsi pemidanaan
Intensi tulisan ini hanya ingin menegaskan kembali pentingnya mengembalikan fungsi pemidanaan penjara dalam menimbulkan efek jera terhadap para koruptor dengan mengondisikan kembali LP agar benar-benar menjadi kawah untuk membuat koruptor kapok. Dan, itu rasanya tidak akan terjadi pada kondisi LP mudah dikendalikan terpidana korupsi.
Meminjam logika berpikir Wesley Cragg (1992) dalam The Practice of Punishment: Towards a Theory of Restorative Justice, penegakan hukum mestinya berkaitan erat dengan gagasan penerapan hukuman. Itu berarti, bicara spektrum penegakan hukum korupsi, di dalamnya juga harus diperhatikan perbaikan sistem di LP sehingga gagasan bahwa bentuk hukuman penjara merupakan instrumen penjeraan bagi koruptor masih menemukan signifikansinya. Jika tidak demikian, para koruptor pasti tak gentar dengan penjara.
Hasrul Halili Direktur Eksekutif Pusat Kaijan Antikorupsi (Pukat); Dosen Fakultas Hukum UGM
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar