Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara MPR/DPR, Jumat (22/8). |
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan tidak ada toleransi bagi kejahatan korupsi di pusat maupun daerah. Meningkatnya transfer anggaran dari pusat ke daerah jangan sampai meningkatkan penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi.
Penegasan itu disampaikan Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jumat (22/8). Presiden didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hadir juga Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. ”APBN dan APBD adalah uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat,” ujar Presiden.
Sebelumnya, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-Perubahan 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan, pada tahun anggaran 2009, transfer dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.
”Pepatah mengatakan, ’Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’. Marilah kita mengemban amanah dan tanggung jawab dengan baik sehingga meninggalkan nama yang baik pula. Nama yang akan dikenang rakyat, jauh setelah kita meninggalkan jabatan yang kita emban,” ujar Yudhoyono.
ICW tunggu bukti
Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mendukung sikap Presiden Yudhoyono.
”Presiden memang tidak bisa lagi memberikan toleransi apa pun terhadap praktik korupsi dan kepada para koruptor yang telah merugikan negara. Yang ditunggu oleh rakyat sekarang adalah tindakan nyata dan dukungan konkret Presiden yang tak akan menoleransi tindakan korupsi yang dilakukan siapa pun. Apakah itu kelompoknya, keluarga, para menteri, atau teman sejawatnya,” ujar Teten.
Menurut dia, sejauh ini sudah ada tiga menteri yang sudah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. ”Tetapi, mereka belum diganti. Karena itu, pemerintah bisa dinyatakan belum free and clean. Tudingan korupsi masih menyelimuti kabinet,” katanya.
Presiden juga harus memberikan dukungan politik kepada KPK yang tengah mengusut tuntas kasus aliran dana BI dan kasus-kasus lainnya. ”Dukungan Presiden untuk membersihkan ’halaman rumahnya’ sendiri di Istana juga harus dilakukan secara efektif sehingga bukti pernyataan tidak adanya toleransi bagi tindakan korupsi bisa terwujud,” kata Teten.
Peringatan KPK
Ketua KPK Antasari Azhar, kemarin, mengajak semua gubernur, bupati, serta wali kota untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan menggunakannya secara transparan.
Antasari mengingatkan beberapa modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah. Salah satunya adalah membuat berita acara fiktif pada akhir tahun agar bisa mendapatkan anggaran. Proyeknya sesungguhnya belum berjalan, tetapi agar uang bisa masuk, ditulis seakan-akan sudah selesai. Selanjutnya, begitu uang masuk, uang itu tidak dialokasikan sebagaimana mestinya tetapi dibagi-bagi. ”Ini persoalan yang harus kita selesaikan,” ujarnya.
Dalam bahan yang dibagikan secara tertulis kepada semua peserta, KPK bahkan membeberkan 18 modus operandi penyalahgunaan anggaran di daerah (lihat tabel).
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution juga mendorong semua pemerintah daerah agar berani membuang kebiasaan lama pada era Orde Baru, seperti memberi macam- macam kepada setiap pejabat pusat yang datang ke daerah. ”Harus berani bilang, ’No’,” kata Anwar.
Dia juga meminta pemerintah daerah segera mewujudkan sistem pembukuan negara yang terpadu. Hanya dengan demikian pemerintah dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuiditasnya setiap saat.
Pemerintah daerah juga harus meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya dengan, antara lain, memperbaiki sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset dan utang, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan, serta tanggung jawab anggaran.
Rapat harus transparan
Rapat pembahasan APBN di DPR dinilai sebagai titik rawan yang membuka peluang terjadinya praktik korupsi menjelang Pemilu 2009. Pembahasan APBN secara tertutup dikhawatirkan hanya akan menguntungkan elite politik DPR dan pemerintah.
”DPR masih setengah hati membuka pembahasan anggaran. DPR cenderung melaksanakan rapat anggaran secara tertutup. KPK seharusnya bisa mengetahui mekanisme penyusunan anggaran secara tertutup ini,” kata Yuna Farhan dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) saat jumpa pers Koalisi untuk APBN 2009, Jumat.
Koalisi untuk APBN 2009 ini terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, Seknas Fitra, Sanggar Bandung, PP Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Pusat Telaah Informasi Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat, Pattiro Jakarta, Civic for Budgeting Advocacy, Seknas Jaringan Transparansi dan Akuntabilitas untuk Pembangunan (Seknas Jari Indonesia), dan Gerakan Antikemiskinan Rakyat Indonesia (Gapri).
Menurut Yuna, pembahasan APBN rawan kebocoran, menyusul langkah para elite untuk mengongkosi politik mereka menjelang Pemilu 2009.
Masih terkait pidato Presiden, Abdul Gafur dari Gapri menyangsikan data turunnya angka kemiskinan yang disampaikan Yudhoyono. ”Kalau memang orang miskin turun, Presiden Yudhoyono harus menunjukkan di mana saja lokasi orang miskin itu turun. Sebab, secara kasatmata, orang turun ke jalan semakin banyak,” kata Gafur.
Ia menilai program pembangunan pemerintah sering kali tak tepat sasaran. (HAR/VIN/SUT)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar