Kamis, 07 Agustus 2008

Mafia Legislatif

Oleh Eddy O.S Hiariej
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta Kamis, 07 Agt 2008


Headline beberapa media cetak, 29 Juli 2008 yang memberitakan 52 anggota yang menerima aliran dana dari Bank Indonesia terkait diseminasi Undang-Undang Bank Indonesia cukup mencengangkan publik. Betapa tidak, para anggota DPR yang mulia adalah representasi rakyat yang seyogyanya memiliki integritas moral yang baik dalam mengemban amanat dan kepercayaan rakyat, namun kenyataanya melakukan praktek korupsi sebagai perbuatan tercela. Fakta tersebut meyakinkan publik bahwa praktek korupsi tidak hanya dalam pelaksanaan undang-undang tetapi sudah dimulai dari pembuatan undang-undang.
Pada saat yang sama, beberapa mantan petinggi Bank Indonesia, sedang berada di kursi pesakitan sebagai terdakwa dengan dua dakwaan : Pertama, Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan yang kedua terkait diseminasi undang-undang Bank Indonesia. Artinya, active bribery dalam kasus tersebut sedang diadili, sedangkan pasive bribery dalam kasus yang sama masih belum tersentuh oleh hukum. Bahkan, beberapa orang diantara mereka yang telah menerima suap buru-buru mengembalikan uang setelah kasus ini terbongkar. Padahal, pengembalian uang tidaklah menghapus tuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kata, kalimat, bahkan koma dan titik dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR mempunyai nilai rupiah. Dengan kata lain, pasal-pasal yang dirumuskan dalam suatu undang-undang adalah berdasarkan pesanan pemilik modal sehingga suap-menyuap dalam proses pembahasan suatu rancangan undang-undang niscaya selalu terjadi. Dalam bahasa yang lebih halus biasanya suap-menyuap dalam pembahasan undang-undang di DPR dikenal dengan istilah 'biaya loby' atau 'biaya diseminasi'.
Korupsi Politik
Dalam konteks kriminologi, apa yang terjadi selama ini dalam proses pembahasan suatu undang-undang dikenal dengan istilah political bribery. Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Criminolgy, second edition,1995, mendefinisikan political bribery sebagai kegiatan dewan legislatif untuk membentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kelompok kepentingan tertentu. Kepentingan tersebut dapat meliputi kepentingan ideologi, kepentingan partai atau kepentingan golongan tertentu, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Harapannya, anggota dewan dapat membuat aturan yang menguntungkan kelompok kepentingan tersebut.
Selain itu, masih menurut Beirne dan Messerschmidt, masih ada tipe korupsi yang lain yaitu political kickbacks, election fraud dan corrupt campaign practices. Political kickbacks mempunyai cakupan yang lebih luas yang bisa berkaitan dengan kegiatan legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Political kickbacks dalam kaitannya dengan kegiatan legislatif pada dasarnya sama dengan political bribery. Hanya saja rumusan undang-undang yang diinginkan adalah untuk melindungi kepentingan pengusaha. Di bidang eksekutif biasanya kickbacks dalam bentuk gratifikasi. Demikian pula di bidang yudikatif biasanya untuk memenangkan sebuah perkara atau membebaskan terdakwa dari sebuah kasus pidana.
Sedangkan election fraud yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan pada saat pemilihan umum seperti pemalsuan adaministrasi calon anggota legislatif, kecurangan pada saat perhitungan suara, memberikan sesuatu untuk mempengaruhi melaksanakan hak pilih yang semuanya itu berkaitan dengan uang dan atau sesuatu imbalan termasuk didalamnya menjanjiakan atau mengiming-imingi sesuatu. Sementara corrupt campaign practices adalah praktek-praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara. Dalam tipe yang keempat ini biasanya berkaitan langsung dengan calon anggota legislatif agar dapat terpilih melalui daerah pemilihannya.
Kembali kepada political bribery di Dewan, kejahatan kolektif seperti ini biasanya merupakan kejahatan terorganisasi ala kerja mavia di Itali, Yakuza di Jepang dan Triad di China. Kejahatan tersebut terbungkus rapi karena kewenangan yang melekat pada mereka dalam membentuk undang-undang dan tanpa keseriusan untuk memberantasnya, niscaya kejahatan tersebut tidak akan pernah terbongkar. Dalam konteks yang demikian, substansi undang-undang tidak lagi mencerminkan kebutuhan masyarakat tetapi lebih pada hasil kejahatan.
Dalam kaitannya dengan aliran dana Bank Indonesia yang menimpa sejumlah Anggota dan mantan Anggota DPR, ada beberapa catatan penulis :
Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani membawa semua pelaku ke pengadilan terkait aliran dana Bank Indonesia. Keterangan saksi yang menyebutkan nama 52 Anggota DPR yang telah menerima aliran dana tersebut diucapkan dibawah sumpah dan di depan sidang pengadilan. Artinya, keterangan saksi tersebut adalah alat bukti yang sah untuk memproses mereka yang menerima suap.
Kedua, terkait dengan yang pertama, pengadilan terhadap para penerima suap adalah untuk mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan, karena beberapa top level di Bank Indonesia sedang diproses secara hukum. Dalam penyuapan, baik pemberi suap, maupun penerima suap adalah pelaku kejahatan.
Ketiga, mereka penerima suap yang sedang menjabat sebagai anggota DPR maupun pejabat tinggi negara lainnya, Dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, seyogyanya mengundurkan diri dari jabatan guna mempermudah proses hukum dan demi menjaga nama baik serta kredebilitas Dewan dan Pemerintah.
Keempat, atau yang terakhir, mekanisme hukum ini harus benar-benar ditegakkan sebagai shock therapy untuk memberantas mafia legislatif yang selama ini terjadi.
Eddy O.S Hiariej
Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Tidak ada komentar: